Antara Jurnalisme dan Sastra

Dikutip dari Indonesiakaya.com, Leila mengakui bahwa pengalaman pahit sebagai jurnalis justru menguatkan keyakinannya untuk terus menulis. Dorongan terbesar datang dari anaknya, yang percaya bahwa sang ibu adalah penulis terbaik.

“Saya menulis karena ada cerita, bukan untuk membangun revolusi,” tutur Leila.

Baginya, isu hak asasi manusia dan politik akan hadir secara inheren jika cerita dituturkan dengan jujur. Sensitivitas itu tampak jelas dalam karya-karyanya yang kerap mengangkat nasib eksil politik, korban sejarah, dan pergulatan batin manusia.

Karya-Karya Leila S. Chudori

Karya-karya Leila S. Chudori menunjukkan perjalanan estetik dan intelektual yang panjang, dari eksplorasi tema personal hingga penggalian sejarah dan kemanusiaan yang mendalam.

Novel Kelopak-kelopak yang Berguguran (1984) menandai fase awal kepenulisannya, disusul kumpulan cerpen Malam Terakhir (1989; cetak ulang 2009) yang mengukuhkan namanya sebagai cerpenis dengan sensitivitas sosial yang kuat.

Melalui 9 dari Nadira (2009), Leila menghadirkan potret kompleks perempuan modern, sementara Pulang (2012) memperlihatkan kematangannya dalam meramu fiksi dan sejarah lewat kisah eksil politik Indonesia.

Puncak pengaruhnya tampak pada Laut Bercerita (2017), novel yang menggugah kesadaran kolektif tentang tragedi 1998 dan menjadikannya salah satu penulis paling berpengaruh di Indonesia. Cerita tersebut kemudian dilanjutkan melalui Namaku Alam (2023), sementara Mang Eak (2024) memperlihatkan keberaniannya bereksperimen dengan bentuk dan pendekatan baru.

Daya jangkau karya-karya Leila pun melampaui batas nasional, dengan Laut Bercerita diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Sea Speaks His Name dan Malam Terakhir terbit dalam bahasa Jerman dengan judul Die Letzte Nacht. Hal ini menegaskan penerimaan pembaca internasional terhadap kekuatan narasinya.

Dikutip dari laman Kemendikdasmen, selain di majalah dan surat kabar, tulisan Leila juga dimuat di jurnal sastra, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti dalam jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia).

Cerpen Leila juga dibahas oleh kritikus sastra Tinneke Hellwig ‘Leila S, Chudori and Women in Contemporary Fiction Writing’ dalam jurnal sastra Tenggara.

Namanya juga tercantum dalam kamus sastra Dictionnaire des Créatrices yang diterbitkan oleh Editions des Femmes, Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus itu berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dalam dunia seni.

Kiprah di Ranah Film

Selain dikenal lewat cerpen dan novel, Leila S. Chudori juga menorehkan jejak kuat di dunia penulisan skenario. Ia menulis skenario drama televisi Dunia Tanpa Koma (2006), film pendek musikal Drupadi (2008), serta film Kata Maaf Terakhir (2009).

Dunia Tanpa Koma sendiri tayang selama 14 episode dan dibintangi Dian Sastrowardoyo serta Tora Sudiro, dan mengantarkannya meraih penghargaan Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji pada Festival Film Bandung 2007.

Sementara itu, Drupadi, yang diproduseri Mira Lesmana dan disutradarai Riri Riza, menghadirkan tafsir modern atas epos Mahabharata dengan simbol kuat tentang perjuangan perempuan, keadilan, dan kesetaraan. Adapun, Kata Maaf Terakhir mengangkat drama kemanusiaan tentang penyesalan dan rekonsiliasi dalam batas waktu kehidupan.

Dikutip dari laman Kemendikdasmen, kiprah Leila di ranah film juga ditandai dengan perannya sebagai juri di berbagai festival bergengsi serta keterlibatannya sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta, menegaskan posisinya sebagai figur penting yang berpengaruh di persimpangan sastra, film, dan kebudayaan Indonesia.

Baca Juga: Mengenang Marga T, Ikon Sastra Populer Indonesia yang Abadi Lewat Karmila dan Badai Pasti Berlalu