Wastra, kain tradisional Indonesia, bukan sekadar warisan budaya. Dalam kacamata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), wastra adalah salah satu kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan oleh Neli Yana, selaku Direktur Kriya Kemenparekraf, saat menjadi pembicara dalam sesi Cerita Wastra, yang merupakan bagian dari rangkaian acara Parade Wastra Nusantara 2025 yang diselenggarakan oleh FIMELA.com dan Indonesian Fashion Chamber (IFC), bertempat di Atrium Mall Kota Kasablanka, Jakarta, pada Jumat (8/8/2025).
“Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budaya. Wastra bukan sekadar warisan, tapi bagian dari subsektor kriya yang menjadi prioritas di Kemenparekraf,” tutur Neli Yana.
Dikatakan Neli, subsektor kriya, yang mencakup kerajinan tangan termasuk wastra, tercatat sebagai salah satu penyumbang tertinggi dalam ekspor ekonomi kreatif. Tidak hanya itu, lanjut dia, sektor ini juga membuka banyak lapangan pekerjaan dan menjadi sumber penghidupan bagi jutaan pelaku UMKM di seluruh Indonesia.
“Kriya adalah penyumbang tenaga kerja dan ekspor terbesar dari subsektor ekonomi kreatif. Maka dari itu, kami terus mendorong pertumbuhan sektor ini, termasuk melalui penguatan wastra,” terang Neli.
Dalam upaya mendukung pelaku wastra dan UMKM, lanjut Neli, Kemenparekraf sendiri telah menjalankan berbagai program fasilitasi dan inkubasi. Mulai dari pelatihan, penguatan kapasitas, hingga pembukaan akses pasar baik di dalam maupun luar negeri.
“Tentu saja ada banyak program pendampingan yang kami jalankan, mulai dari Sabang sampai Merauke. Kami hadir di daerah-daerah, termasuk kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar), untuk membantu para pelaku UMKM naik kelas,” jelas Neli.
Bagi para pelaku UMKM yang ingin bergabung dalam program-program ini, Neli pun lantas mengimbau agar selalu mengikuti informasi resmi Kemenparekraf.
“Caranya mudah, cukup ikuti media sosial Kemenparekraf. Semua informasi program, dari 17 subsektor ekonomi kreatif termasuk kriya dan wastra, kami sampaikan di sana,” katanya.
Neli pun menekankan, Kemenparekraf tak hanya bekerja sendiri. Kolaborasi menjadi strategi utama dalam memperluas jangkauan wastra Indonesia. Baik dengan pemerintah daerah, desainer, industri, hingga Kementerian Perdagangan dan KBRI di luar negeri.
Contohnya adalah program Bandung Creative Trainer yang melibatkan kolaborasi antara pelaku UMKM, desainer muda, dan komunitas lokal. Dalam program ini, para peserta mendapatkan pembinaan intensif dan peluang untuk menembus pasar internasional seperti Korea dan Jepang.
“Kami tidak hanya bantu dari sisi pelatihan dan pendampingan, tapi juga membuka akses pasar ekspor. Bahkan, kami bantu memahami karakteristik pasar luar negeri, seperti Jepang, agar produk wastra kita bisa diterima dengan baik,” jelas Neli.
Neli pun mengatakan, tak sedikit produk wastra yang sebenarnya berkualitas, namun belum mampu bersaing karena kurang menarik secara visual. Untuk itu, Kemenparekraf juga menjalankan program Bedah Desain Kemasan.
“Melalui program ini, kami bantu pelaku UMKM menciptakan kemasan yang modern, punya storytelling, dan mampu menarik perhatian pasar global,” ujar Neli.
Di kesempatan yang sama, Hj. Fathul Jannah Muhidin, selaku Ketua Dekranasda Provinsi Kalimantan Selatan, mengatakan bahwa Provinsi Kalimantan Selatan pun memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, salah satunya adalah kain wastra khas daerahnya, yakni batik sasirangan.
Sebagai salah satu warisan budaya yang memiliki nilai seni tinggi dan teknik pembuatan yang unik, kata Fathul, sasirangan kini tengah diperjuangkan untuk bisa menembus pasar nasional hingga internasional. Upaya ini tak lepas dari peran aktif Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Dekranasda setempat.
“Kami dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sangat mendukung eksistensi wastra, khususnya untuk para pengrajin kriya, agar mereka bisa berkembang baik di tingkat lokal, nasional, maupun mancanegara,” ujar Fathul.
Fathul memaparkan, batik sasirangan sendiri bukanlah kain biasa. Proses pembuatannya dilakukan dengan teknik tradisional yang disebut jelujur, yakni menjahit pola di kain sebelum dilakukan pewarnaan alami. Motifnya pun sarat makna dan kental dengan nuansa khas Kalimantan, seperti motif bunga dan gigi ikan gabus.
“Adapun, motif yang saya pakai ini salah satunya ada motif gigi ikan gabus dan bunga khas Kalimantan. Prosesnya tidak diprinting, tapi dijelujur dulu, disikat, lalu diberi warna alami seperti dari kulit rambutan atau daun-daunan,” jelas Fathul Jannah.
Di era modern ini, kata Fathul, keberlanjutan pun menjadi kata kunci dalam industri kreatif. Dan, pikahnya di Kalimantan Selatan pun berupaya menjaga keseimbangan antara pelestarian tradisi dan inovasi ramah lingkungan.
Fathul menyebut bahwa pihaknya membina UMKM agar tetap menggunakan pewarna alami yang tidak merusak alam, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk riset penggunaan pewarna sintetis yang lebih aman.
“Kami membina UMKM agar lebih banyak menggunakan pewarna alami. Tapi kami juga tidak menutup diri terhadap teknologi baru, selama tidak merusak lingkungan dan bisa mengembangkan kreativitas pelaku UMKM,” terangnya.
Adapun, salah satu langkah konkret yang dilakukan Dekranasda Kalimantan Selatan untuk mengangkat sasirangan ke panggung nasional dan internasional adalah melalui kolaborasi dengan desainer nasional. Salah satunya dengan desainer kenamaan Irma Joenawinata.
“Alhamdulillah, kami sangat bersyukur bisa berkolaborasi dengan Mbak Irma Joenawinata. Kami kirimkan kain sasirangan dari Kalimantan Selatan untuk diolah menjadi busana oleh beliau, yang nanti akan ditampilkan di panggung nasional,” tutur Fathul.
Melalui kerja sama seperti ini, Fathul berharap kain sasirangan semakin dikenal oleh masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
“Mudah-mudahan, lewat tangan-tangan kreatif para desainer nasional, sasirangan bisa mendapat tempat yang layak di pasar internasional,” tambahnya.
Selain memperkuat kolaborasi dengan desainer, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan juga menggandeng berbagai instansi, termasuk Dinas Perindustrian dan instansi terkait lainnya, untuk menjangkau pelaku UMKM. Media sosial pun dimanfaatkan sebagai alat promosi yang efektif di era digital ini.
“Kami berusaha menjangkau UMKM melalui berbagai saluran, termasuk media sosial, agar mereka bisa lebih adaptif terhadap tren saat ini dan mampu bersaing secara luas,” jelas Fathul.
Dengan semangat kolaboratif, pendekatan tradisional yang dipadukan dengan inovasi modern, serta dukungan pemerintah yang berkelanjutan, Kalimantan Selatan optimistis membawa batik sasirangan ke tingkat yang lebih tinggi.
“Harapan kami, para pengrajin di Kalimantan Selatan bisa mengikuti tren global dan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya lokal. Dengan begitu, sasirangan tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang dan dikenal dunia,” tutup Fathul Jannah.
Baca Juga: Parade Wastra Nusantara 2025 Hadirkan Perpaduan Budaya dan Fashion di Jakarta