Lebih dari itu, L’Oréal juga berkomitmen bahwa pada tahun 2030, 50% bahan kemasan yang digunakan berasal dari material daur ulang atau berbasis hayati. Inovasi ini tidak hanya menuntut teknologi tinggi, tetapi juga perubahan paradigma dalam proses desain dan distribusi produk.

Retail pun menjadi bagian integral dari strategi circularity ini. Melalui gerakan Join the Refill Movement, L’Oréal berkolaborasi dengan mitra retail untuk menyediakan sistem isi ulang yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga nyaman bagi konsumen.

"Lewat refill, kita bisa mengurangi penggunaan kemasan hingga 20–30%. Bahkan dari sisi logistik pun, karena bobotnya lebih ringan, jejak karbon dari transportasi bisa ditekan signifikan,” tambah Melanie.

Menurut Melanie, komitmen refill ini tak terbatas hanya pada satu kategori, melainkan tersedia di seluruh lini produk L’Oréal, mulai dari skin care, make up, hair care, hingga fragrance high-end seperti YSL.

“Refill sudah tersedia bahkan untuk produk premium seperti hair oil dan parfum. Ini adalah bagian dari upaya kami menjadikan refill sebagai the new norm di industri kecantikan,” jelasnya.

Menurut Melanie, upaya ini menjadi bukti nyata bagaimana L’Oréal membangun keberlanjutan secara end-to-end. Setiap titik dalam siklus hidup produk, mulai dari formulasi berbasis green science, inovasi kemasan, proses manufaktur, hingga distribusi dan konsumsi, dipastikan mengusung prinsip keberlanjutan.

Bahkan dalam setiap event dan aktivitas pemasaran, L’Oréal telah menetapkan panduan untuk pengelolaan limbah yang bertanggung jawab, bekerja sama dengan mitra waste management profesional.

“Di L’Oréal, keberlanjutan bukan sekadar program tambahan. Ia adalah bagian dari performa bisnis, bahkan memengaruhi bonus karyawan kami. Karena itu, komitmen ini bukan hanya tentang planet, tapi juga tentang tanggung jawab moral dan sosial,” pungkas Melanie.

Baca Juga: L’Oréal Indonesia Pertegas Komitmen 20 Tahun Dukung Perempuan Peneliti Indonesia