Sosok Marga T merupakan salah satu penulis perempuan paling produktif dalam sejarah sastra populer Indonesia. Namanya mencuat pada era 1970-an melalui novel debutnya, Karmila, yang ia tulis saat masih menjadi mahasiswi kedokteran.

Ketika terbit pada Desember 1971, novel Karmila langsung meledak dan berkali-kali dicetak ulang, hingga pihak penerbit menyebutnya sebagai karya yang menandai lahirnya babak baru dalam dunia penerbitan nasional.

Popularitasnya semakin tak tergoyahkan setelah ia melahirkan mahakarya Badai Pasti Berlalu, yang tak hanya sukses sebagai novel, tetapi juga diadaptasi menjadi film, sinetron, dan lagu ikonik yang melekat sepanjang generasi.

Dalam kiprahnya, Marga T menunjukkan produktivitas luar biasa dengan menerbitkan 128 cerita pendek dan 67 buku, meliputi novel, novelet, dan buku anak-anak. Karyanya menembus berbagai genre, mulai dari romansa, misteri, hingga satire, memperlihatkan keluwesan kreativitas yang jarang dimiliki penulis sezamannya.

Lantas, seperti apa sosok perempuan yang terus dikenang melalui karya-karyanya ini? Dikutip dari berbagai sumber, Jumat (12/12/2025), berikut ulasan Olenka mengenai perjalanan hidup dan kiprah Marga T.

Latar Belakang

Intan Margaretha Harjamulia atau Margaretha Tjoa Liang Tjoe, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Marga T adalah salah satu pengarang paling produktif dalam sejarah sastra populer Indonesia.

Lahir di Jakarta pada 27 Januari 1943, Marga T tumbuh dalam keluarga penganut Katolik yang taat dan menghabiskan masa kecilnya dengan kegemaran membaca serta menulis.

Sejak remaja, bakatnya sudah terlihat jelas. Dikutip dari laman Kemendikdasmen RI, ia mulai menulis sejak usia 14 tahun melalui majalah sekolah, bahkan memenangkan lomba mengarang saat masih duduk di bangku SD.

Pendidikan

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar hingga SMA antara 1956–1962, Marga T melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta.

Latar belakang medis ini kelak memberi warna kuat dalam karya-karyanya, terutama ketika ia mendeskripsikan tokoh-tokoh dokter atau dunia rumah sakit secara detail dan realistis.

Cerpen pertamanya yang terbit di surat kabar berjudul Kamar 27, ditulis pada usia 21 tahun saat ia masih mahasiswa kedokteran.

Dikutip dari Kompas, cerita itu berlatar rumah sakit dan mengisahkan pertemuan tak terduga antara seorang dokter dengan anaknya yang diculik mantan suami. Pada usia 26 tahun, ia menerbitkan buku anak-anak pertamanya, Rumahku Istanaku (1969).

Meski akhirnya resmi menjadi dokter sekitar 1975, dikutip dari Historia.id, Marga T sudah terlebih dahulu dikenal sebagai penulis yang sukses melalui karya-karya populernya.

Kisah Cemerlang sebagai Novelis

Nama Marga T melejit pesat pada era 1970-an. Cerita bersambungnya yang berjudul Karmila pertama kali dimuat di harian Kompas (1970–1971) dan kemudian diterbitkan sebagai novel oleh Gramedia pada 1973. Novel ini meledak di pasaran, dicetak ulang berkali-kali, dan menjadi salah satu tonggak penting dunia penerbitan Indonesia.

Karmila juga menandai awal kesuksesan Marga T sebagai penulis yang mampu menembus berbagai medium. Cerita tersebut diadaptasi menjadi film pada 1974, difilmkan ulang pada 1981, dan bahkan dibuat versi sinetronnya pada 1991.

Kesuksesan besar lain datang melalui novel Badai Pasti Berlalu (1974), yang juga berawal dari cerber di harian Kompas pada 1972. Film adaptasinya yang disutradarai Teguh Karya pada 1977 meraih berbagai penghargaan di Festival Film Indonesia 1978, termasuk Piala Citra untuk editing, fotografi, dan musik. Lagu ikoniknya yang diciptakan Eros Djarot masih melekat di hati masyarakat hingga kini.

Dalam perjalanan kariernya, Marga T menghasilkan karya lintas genre, seperti romansa, misteri, detektif, satire, hingga thriller.

Dikutip dari Liputan6.com, ia menerbitkan sedikitnya 128 cerita pendek dan 67 buku. Jumlah karyanya tersebut menegaskan produktivitas Marga T sebagai salah satu penulis paling profduktif di Indonesia.

Baca Juga: Mengenang Nh. Dini, Sastrawan Perempuan Berpengaruh sekaligus Pelopor Sastra Feminis Indonesia

Penggambaran Tokoh dan Kepekaan terhadap Realitas

Menurut pengakuannya dalam kuesioner David T. Hill (1977), sebagaimana dikutip dari Liputan6.com, sekitar 80 persen tokoh dalam cerita-cerita Marga T terinspirasi dari orang-orang nyata di sekelilingnya.

Ia juga lebih sering memilih perempuan sebagai tokoh utama karena merasa lebih mudah memahami cara berpikir dan emosi mereka.

Kemampuan meramu cerita ini membuat novel-novelnya terus dicetak ulang dan disukai pembaca lintas generasi. Salah satu karyanya yang menonjol adalah Sekuntum Nozomi (2002–2006) yang mengangkat tragedi Mei 1998, menunjukkan keberaniannya membahas isu sosial sensitif.

Kehidupan Pribadi

Dikutip dari Tribunnews, Marga T menikah pada 1979 dengan seorang insinyur teknik kimia yang juga alumnus Universitas Trisakti.

Menariknya, pertemuan mereka bukan terjadi di kampus, tetapi saat Marga T melakukan perjalanan ke Eropa, perjalanan yang ia biayai dari kesuksesan novel Karmila.

Meski terkenal, ia dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Ia bahkan pernah mengatakan tidak ingin terlalu dikenal karena takut tidak bisa lagi bebas naik bus atau pergi ke bioskop.

Sosok Pekerja Keras dan Disiplin Tinggi

Marga T bukan hanya penulis berbakat, tetapi juga pekerja keras. Ia memiliki kebiasaan menulis empat hingga lima jam setiap hari, sebuah disiplin yang jarang dimiliki banyak penulis modern.

Ia juga dikenal sebagai pembaca yang rakus. Dalam sebuah wawancara, ia pernah berkata, ‘Masyarakat berhak memilih bacaan yang disukainya, tapi penulis tidak. Ia harus membaca tulisan siapa pun’.

Kalimat ini kemudian menjadi salah satu prinsip yang paling sering dikutip untuk menggambarkan dedikasinya.

Filmografi Singkat

Sejumlah karya Marga T juga berhasil menembus layar lebar dan menjadi bagian penting dalam sejarah film Indonesia. Novel Karmila lebih dulu diadaptasi menjadi film pada 1974 dan kembali difilmkan ulang pada 1981.

Kesuksesan serupa diraih oleh Badai Pasti Berlalu yang pertama kali difilmkan pada 1977 dan kemudian digarap kembali pada 2007.

Selain dua karya besar itu, beberapa novelnya seperti Bukan Impian Semusim (1981), Ranjau-Ranjau Cinta (1984), serta Saskia (1988) juga diangkat ke layar lebar, menunjukkan betapa kuat daya tarik kisah-kisahnya bagi dunia perfilman Indonesia.

Adaptasi ini tidak hanya memperluas jangkauan karyanya, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai penulis yang mampu diterjemahkan ke berbagai medium.

Penghargaan

Atas kontribusinya yang luar biasa, dikutip dari laman Kemendikbud RI, Marga T dianugerahi penghargaan sebagai Pelopor Penulisan Sastra Populer Indonesia pada 2015, sebuah pengakuan resmi atas dedikasi panjangnya di dunia literasi.

Akhir Hayat

Marga T berpulang pada 17 Agustus 2023, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI. Ia meninggal di Rumah Sakit Cabrini, Malvern, Australia, pada usia 80 tahun.

Kabar kepergiannya disampaikan oleh Gramedia Pustaka Utama, penerbit yang menerbitkan sebagian besar karyanya.

Meski telah tiada, warisan yang ditinggalkannya tetap hidup, yaitu ratusan cerita, puluhan novel, dan karakter-karakter kuat yang dikenang pembacanya hingga kini.

Baca Juga: Deretan Perempuan Inspiratif di Bidang Sastra