Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, Ph.D. merupakan salah satu ilmuwan Indonesia yang reputasi dan jejak karier yang membentang dari Asia hingga Eropa dan Amerika.
Dikutip dari Tribun Health, ia dikenal sebagai dokter, ilmuwan, dan pendidik dengan keahlian di bidang farmakologi, kardiologi, dan neurologi, sekaligus sosok yang turut mempopulerkan pengobatan berbasis sel dan terapi gen.
Berbekal lebih dari dua dekade pengalaman riset, Taruna kini menempati posisi strategis dalam dunia penelitian dan regulasi kesehatan, termasuk dipercaya memimpin BPOM RI sejak 2024.
Namun, siapa sebenarnya sosok Taruna Ikrar? Dan seperti apa perjalanan panjang yang membawanya ke puncak posisi penting tersebut? Berikut ulasan Olenka terkait profil dan kiprahnya, dirangkum dari berbagai sumber pada Minggu (23/11/2025).
Latar Belakang dan Kehidupan Pribadi
Dikutip dari Wikipedia, Taruna Ikrar lahir di Makassar pada 15 April 1969, dari keluarga guru yang sederhana di daerah pesisir. Ia merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara.
Sejak kecil, Taruna sudah bercita-cita menjadi dokter, tekad yang menjadi fondasi seluruh perjalanan akademisnya.
Ia menikah dengan dr. Elfi Wardaningsih, yang ditemuinya ketika belajar di perpustakaan Universitas Indonesia. Keduanya dikaruniai tiga anak, yaitu Aqilla Safazia Ikrar, Athallah Razandhia Ikrar, dan Alaric Khalifah.
Di luar dunia sains, Taruna gemar menulis sejak masa kuliahnya. Dikutip dari Detik, ia belajar menulis di penerbit kampus Identitas Unhas dan aktif berorganisasi. Ia pernah menjadi Ketua Umum HMI Ujung Pandang dan terlibat dalam kepengurusan besar HMI di Jakarta.
Pendidikan
Perjalanan akademis Taruna menanjak secara konsisten dan panjang. Dikutip dari Tribun Health, ia memulai pendidikannya sebagai dokter di Universitas Hasanuddin pada 1988 hingga merampungkannya pada 1997.
Ia kemudian melanjutkan studi Magister Ilmu Biomedik bidang Farmakologi di Universitas Indonesia dari 1998 sampai 2003, periode ketika ia aktif meneliti obat-obatan jantung di RS Harapan Kita dan BPOM bersama Prof. Hamed Oemar.
Selepas itu, Taruna memperoleh beasiswa Monbukagakusho untuk melanjutkan pendidikan doktoral di Niigata University, Jepang, pada 2004–2008, dengan disertasinya yang menyoroti terapi gen bagi gangguan irama jantung berat.
Pada 2007, ia menjadi visiting doctor di Universitas Bologna, Italia, untuk mendalami intervensi aritmia dan pemasangan alat pacu jantung.
Langkah akademiknya berlanjut ke Amerika Serikat, ketika ia menempuh program post-doctoral di bidang neurobiologi dan neurosains di University of California, Irvine, pada 2008–2013, fokus pada penelitian neurosciences, neurodegeneration, dan neurobiology.
Puncak perjalanan pendidikan formalnya ditandai dengan menjadi research scholar berpendanaan NIH di Harvard University pada 2013–2014, di mana ia meneliti proses neurodegenerasi pada area hippocampus.
Awal Karier
Masih dikutip dari Tribun Health, Taruna memulai kariernya sebagai asisten dosen di Universitas Hasanuddin dan Niigata University sebelum kemudian mengajar di berbagai institusi pendidikan.
Ia tercatat pernah menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Akademi Kebidanan Wira Husada Nusantara, serta Surya University pada Departemen Biotechnology dan Neuroscience.
Pengalaman akademiknya meluas hingga ke Malaysia melalui keterlibatannya di University Teknologi MARA. Selain itu, ia juga menjabat sebagai adjunct professor di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Di luar itu, Taruna pernah mengklaim posisi sebagai Dean di International School of Biomedical Sciences, Pacific Health Sciences University (PHSU), California, sebuah klaim yang kemudian memicu kontroversi.
Selain mengajar, ia bekerja sebagai spesialis laboratorium di Departemen Anatomi dan Neurobiologi, University of California Irvine, AS, posisi yang memperkuat rekam jejaknya dalam riset neurosains.
Baca Juga: Mengenal Agung Budi Waskito, Ahli Bendungan Besar yang Kini Jadi Dirut Wijaya Karya
Kiprah Sebagai Dokter dan Ilmuwan
Dikutip dari CNN Indonesia, Taruna merupakan salah satu pemegang paten metode pemetaan otak manusia sejak 2009. Ia juga menjadi bagian dari tim peneliti obat dan vaksin di ASGCT California.
Kontribusi ilmiah Taruna tercermin dari rekam jejak penelitian yang sangat produktif, termasuk lebih dari seratus publikasi internasional di jurnal bereputasi tinggi seperti Nature, Neuron, Cells, Circulation, Molecular Therapy, dan Frontiers in Neural Circuits.
Karya-karyanya banyak dikutip ribuan kali oleh para ilmuwan di berbagai bidang, menandakan pengaruh yang luas dalam komunitas akademik global.
Ia juga melahirkan sejumlah temuan penting terkait gene therapy, neuron, dan dendritic cells, yang dipublikasikan antara lain dalam Molecular Therapy pada 2020, Current Biology pada 2020, serta World Journal Vaccines pada 2021.
Tak hanya itu, Taruna juga dikenal karena mengembangkan pendekatan farmakologi modern dan terapi molekuler untuk penyakit jantung dan gangguan saraf.
Organisasi dan Kiprah Profesional
Dikutip dari Detik, Taruna dikenal sebagai figur yang aktif dalam berbagai organisasi profesi dan ilmiah. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia pada 2000–2003, serta dua periode sebagai Wakil Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) pada 2011–2013 dan 2012–2015.
Keterlibatannya juga meluas ke sejumlah asosiasi ilmiah internasional, termasuk American Cardiology College, Society for Neurosciences, International Heart Research Association, Asia Pacific Heart Rhythm Association, dan Japanese Cardiologist Association.
Dalam pemerintahan, ia dipercaya memegang jabatan strategis, antara lain Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang diangkat langsung oleh Presiden RI pada 19 Agustus 2020, serta Kepala Badan POM RI yang dilantik Presiden Joko Widodo pada 19 Agustus 2024.
Dikutip dari Kumparan, Taruna merupakan ilmuwan Indonesia yang telah berkiprah di tiga benua dan terlibat dalam berbagai riset medis besar. Ia juga aktif mengisi ceramah ilmiah di YouTube dan forum-forum kesehatan internasional.
Ia berperan dalam memperkuat kerjasama riset internasional melalui Science Bank serta menjadi profesor farmakologi di Universitas Prima Indonesia.
Kontroversi
Dikutip dari Liputan6, karier Taruna juga diwarnai sejumlah sorotan dan kontroversi. Ia pernah mengklaim sebagai nominee Nobel tahun 2016 atas riset optogenetics, namun berbagai laporan kemudian meragukan klaim tersebut karena tidak ditemukan bukti resmi dari Nobel Committee.
Publik juga mempertanyakan klaimnya mengenai jabatan profesor dan dekan di Pacific Health Sciences University (PHSU) serta National Health University, yang memicu diskusi tentang keberadaan dan kredibilitas kedua institusi tersebut.
Dikutip dari dokumen Kemendikbudristek, gelar profesornya sebagai Guru Besar Universitas Malahayati bahkan dicabut melalui Kepmendikbudristek No. 48674/M/07/2023.
Kontroversi lain muncul pada 2020 ketika Menkes Terawan mengangkatnya sebagai Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebuah keputusan yang memicu penolakan dari sebagian faksi di IDI.
Meski menghadapi berbagai polemik ini, Taruna tetap melanjutkan kiprahnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan regulasi kesehatan.
Baca Juga: Mengenal Sosok Bobby Rasyidin: dari LEN Industri dan DEFEND ID, Kini Menahkodai KAI
Penghargaan
Dikutip dari Tribun Health, Taruna menerima sejumlah penghargaan bergengsi di tingkat nasional maupun internasional.
Di kancah global, ia pernah dianugerahi gelar Outstanding Scientist di Amerika Serikat pada 2014, menerima National Sciences Foundation Award pada 2012–2015, serta memperoleh Presidential Award for Innovation Technology pada 2017. Ia juga mendapatkan status permanent resident di AS melalui kategori extraordinary ability scientist.
Di tingkat nasional, Taruna meraih UKP Presidential Award pada 2017 untuk kategori Innovator and Scientist, kemudian TOP Digital Awards 2024 sebagai Top Leader on Digital Implementation, dan dinobatkan sebagai Ilmuwan Berpengaruh di Bidang Farmakologi oleh Unpri pada 2025.
Kekayaan
Menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan Taruna Ikrar pada 11 November 2024, sebagai laporan khusus awal menjabat Kepala BPOM, mencatat total kekayaan sebesar Rp650,6 miliar.
Porsi terbesar kekayaannya berasal dari aset tanah dan bangunan yang mencapai Rp574,63 miliar, sebagian besar berupa lahan di Kota Pekanbaru yang tercatat sebagai hibah tanpa akta, serta satu aset tanah di Amerika Serikat senilai Rp23,64 miliar.
Ia juga memiliki dua mobil mewah senilai Rp5,12 miliar, surat berharga Rp53,15 miliar, kas dan setara kas Rp16,5 miliar, serta harta lainnya Rp1,18 miliar, tanpa mencantumkan utang dalam laporannya.