Nama Septi Peni Wulandani mungkin belum akrab di telinga masyarakat luas. Namun, bagi para ibu di berbagai penjuru tanah air, sosoknya telah lama dikenal sebagai pelopor gerakan ibu profesional. Ia kerap lantang mendeklarasikan bahwa peran ibu rumah tangga bukanlah posisi kelas dua, melainkan sebuah profesi mulia yang layak mendapatkan pengakuan sosial.
Berangkat dari kegelisahannya melihat ibu rumah tangga yang kerap dipandang sebelah mata bahkan tidak jarang dianggap ‘pengangguran’, Septi pun mendirikan Institut Ibu Profesional (IIP) pada 2011. Melalui wadah ini, ia berupaya menguatkan peran ibu sebagai pilar utama keluarga yang tangguh, berdaya, dan berdaya saing.
Lantas, seperti apa sosok dan kiprah Septi Peni Wulandani hingga ia menjelma menjadi figur inspiratif bagi jutaan perempuan Indonesia? Dikutip dari berbagai sumber, Senin (8/12/2025), berikut ulasan Olenka selengkapnya.
Latar Belakang Keluarga
Septi Peni Wulandani lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 21 September 1974. Ia merupakan aktivis sosial dan penggerak pendidikan keluarga.
Dikutip dari Wikipedia, wanita penyuka olahraga hiking ini pernah menjadi salah satu dari dua pemimpin komunitas asal Indonesia yang mewakili Tanah Air dalam program Facebook Community Leadership Fellowship di Silicon Valley, Amerika Serikat, bersama Maureen Hitipeuw dari Single Moms Indonesia.
Dari pernikahannya, mereka dikaruniai tiga orang anak, Nurul Syahid Kusuma (Enes) yang mampu membaca tulisan latin serta hijaiyyah di usia 2 tahun. Anak kedua Dyah Sekar Arum biasa dipanggil Ara. Kemudian si bungsu Elan Jihad Kusuma. Ketiga anak itu menempuh pendidikan Homeschooling saat SD. Kemudian memasuki SMP dan masuk di SMA Negeri 1 Salatiga.
Pendidikan dan Keputusan Meninggalkan Status PNS
Septi merupakan lulusan SMAN 1 Salatiga dan melanjutkan kuliah di Universitas Diponegoro (Undip). Setelah lulus, ia sempat menerima Surat Keputusan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Namun, dikutip dari Koran Jakarta, Septi memilih melepaskan status PNS demi fokus menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Menurut pengakuannya, menjadi ibu sepenuhnya justru memberinya makna hidup yang lebih besar. Baginya, mendidik anak berarti mendidik satu generasi.
Perjuangan Awal
Dikutip dari Kompasiana, saat tinggal di Depok, Septi sempat berjualan pakaian dari arisan ke arisan, bazar, hingga membuka lapak kecil di depan sekolah. Untuk berdagang ke tempat yang lebih jauh, ia mengendarai motor bebek tua sambil mengasuh anak-anaknya.
Di sela kesibukannya berdagang itulah, Septi pun mengutak-atik pelajaran matematika agar mudah dipahami anak-anaknya. Setelah berbulan-bulan percobaan, lahirlah metode Jarimatika, cara berhitung menggunakan jari yang menyenangkan dan efektif.
Keberhasilan metode ini pada anak-anaknya menyebar dari mulut ke mulut. Tetangga mulai berdatangan untuk belajar. Permintaan terus meningkat hingga akhirnya Septi mematenkan hak cipta Jarimatika dan mengembangkannya dalam bentuk franchise pendidikan.
Jejak Karier dan Pendirian Lembaga Pendidikan
Dikutip dari laman LinkedIn pribadinya, Septi Peni Wulandani dikenal sebagai pendidik dan penggerak komunitas perempuan yang telah merintis berbagai institusi pendidikan sejak lebih dari satu dekade lalu.
Perjalanan kiprahnya dimulai pada Juni 2005 saat ia menginisiasi Jarimatika Center Indonesia, sebuah wadah pemberdayaan para ibu untuk mengajarkan matematika secara mudah dan menyenangkan kepada anak sekaligus membuka peluang kemandirian finansial tanpa meninggalkan peran utama dalam keluarga.
Selanjutnya, pada Juli 2008, Septi merintis School of Life Lebah Putih, sekolah formal tingkat TK dan SD yang menerapkan konsep Inquiry Based Learning (IBL) dengan penekanan pada rasa ingin tahu, imajinasi kreatif, seni menemukan, serta pembentukan akhlak mulia, yang kemudian mulai beroperasi secara penuh pada 2012 dengan pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak, memadukan konsep formal, nonformal, dan informal, serta melibatkan orang tua sebagai mitra utama belajar.
Puncak kiprahnya di bidang pemberdayaan ibu ditandai dengan lahirnya Institut Ibu Profesional (IIP) pada Desember 2011, sebuah komunitas pembelajaran bagi para ibu yang ingin bersungguh-sungguh mendidik keluarga sekaligus meningkatkan kualitas diri sebagai perempuan, istri, dan ibu, yang hingga kini telah menjadi ruang tumbuh bagi ribuan ibu di seluruh Indonesia.
Baca Juga: Profil Nila Tanzil, Sang Penggerak Literasi Anak Indonesia Timur
Tentang Institut Ibu Profesional (IIP)
Dikutip dari Koran Jakarta, gagasan pendirian Institut Ibu Profesional (IIP) yang dirintis Septi Peni Wulandani mulai tumbuh sejak 2008 sebagai gerakan perempuan yang bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai ibu, istri, dan pribadi yang berdaya, baik di ranah domestik maupun publik.
Awalnya, kegiatan IIP berlangsung secara luring dari lingkup tetangga dan ibu-ibu di sekitar Salatiga, sebelum akhirnya bertransformasi menjadi komunitas daring pada 2012.
Dari berbagi pengalaman melalui tulisan dan promosi dari mulut ke mulut, IP berkembang pesat hingga kini berjejaring di lebih dari 50 kota di Indonesia serta merambah ke berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Swedia, dan Amerika Serikat, dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu orang.
Untuk menjaga kesinambungan dan kualitas pembelajaran, IIP menerapkan sistem koordinasi wilayah, jenjang rekrutmen, serta kurikulum berjenjang mulai dari Matrikulasi, Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, hingga Bunda Sholihah, dengan prinsip “dari dan untuk anggota” sehingga lulusan matrikulasi akan menjadi fasilitator bagi yang lain.
Melalui komunitas ini, Septi menanamkan profesionalisme dalam aktivitas rumah tangga, menekankan bahwa keberhasilan ibu tidak hanya diukur dari pemahaman teori, tetapi dari praktik nyata yang konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Di IIP ini, para ibu-ibu ‘kuliah’ tentang pengasuhan, gizi keluarga, komunikasi rumah tangga, kewirausahaan, hingga pengembangan diri tanpa dipungut biaya.
Penghargaan
Septi Peni Wulandani telah menorehkan rangkaian prestasi bergengsi sejak awal kiprahnya di bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Pada 2004, ia dianugerahi Ibu Teladan versi Majalah UMMI, sebagaimana dikutip dari Republika, atas dedikasinya dalam membangun pendidikan berbasis keluarga.
Dua tahun kemudian, pada 2006, Septi menerima Danamon Award kategori individu pemberdaya masyarakat, sekaligus terpilih sebagai salah satu dari 10 Pemuda yang Mengubah Indonesia versi Majalah Tempo. Pada tahun yang sama, ia juga dinobatkan sebagai Inovator Sosial pilihan Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia.
Memasuki 2007, reputasinya menembus level internasional setelah meraih Women Entrepreneur Award dari Ashoka Foundation USA atas kontribusinya dalam kewirausahaan sosial.
Selanjutnya pada 2008, ia mendapat pengakuan sebagai Tokoh Pendidikan Kesetaraan dari ASAHPENA serta dinobatkan sebagai Ikon IPTEK 2008 versi Majalah Gatra.
Pada periode 2008–2009, Septi dianugerahi Inspiring Women Award sebagai figur perempuan inspiratif. Masih pada 2009, ia kembali memperoleh apresiasi melalui Kartini Award versi Majalah Kartini atas konsistensinya dalam pemberdayaan perempuan dan masyarakat.
Sebagai inovator pendidikan, Septi juga tercatat sebagai pemegang hak merek dan hak paten atas berbagai metode pembelajaran, di antaranya Jarimatika, Abacabaca, JariQur’an, Nirmana, dan Fun Math, yang kini digunakan secara luas dalam dunia pendidikan anak.
Pada 2013, ia menerima Kartini Next Generation Award dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) atas kontribusinya dalam pendidikan berbasis komunitas dan teknologi. Pengakuan internasional kembali ia raih pada 2018 melalui Facebook Community Leadership Award berkat kepemimpinannya dalam membangun komunitas Ibu Profesional.
Puncaknya, pada 2022, Septi Peni Wulandani terpilih sebagai Ikon Prestasi Pancasila Kategori Kewirausahaan Sosial, yang menegaskan perannya sebagai tokoh perubahan di bidang sosial, pendidikan, dan kewirausahaan.
Karya Buku
Dikutip Republika, kiprahnya sebagai penulis dimulai sejak awal pengembangan metode Jarimatika. Pada 2003, ia menerbitkan buku Jarimatika Perkalian Pembagian melalui Kawan Pustaka sebagai langkah awal memperluas pemahaman matematika dasar secara praktis.
Setahun kemudian, pada 2004, ia melanjutkannya dengan buku Jarimatika Penambahan Pengurangan yang juga diterbitkan oleh Kawan Pustaka.
Setelah beberapa waktu fokus pada penguatan komunitas, Septi kembali berkarya dengan menerbitkan buku Abaca-baca pada 2008 melalui penerbit yang sama. Pada 2010, ia meluncurkan Jari Qur’an Tingkat Dasar (Kawan Pustaka) sebagai pengembangan metode pembelajaran Al-Qur’an yang inovatif.
Karya tersebut kemudian disempurnakan menjadi Jari Qur’an Versi Lengkap yang diterbitkan oleh Indiva pada 2014. Selain karya cetak, Septi juga menulis buku digital How to Be a Professional Mother sebagai bagian dari upaya pemberdayaan perempuan dan penguatan peran ibu dalam keluarga dan masyarakat.
Cara Mendidik Anak ala Septi Peni Wulandani
Dikutip dari laman Channel Muslim, dalam mendidik anak-ananya, Septi Peni Wulandani menerapkan prinsip demokratis dengan memerdekakan anak sebagai jiwa yang utuh dan mandiri.
Anak-anak diberi ruang untuk memilih jalan hidupnya, dibiasakan memikul tanggung jawab sejak usia dini melalui proyek kehidupan sejak umur sembilan tahun, serta dibesarkan dalam budaya dialog yang intens, salah satunya melalui diskusi di meja makan keluarga.
Rasulullah SAW pun dijadikan sebagai teladan utama dalam bersikap dan menentukan arah hidup, sementara mimpi dan cita-cita dirawat lewat vision board dan vision talk. Septi juga menanamkan bahwa belajar adalah untuk mencari ilmu, bukan semata mengejar nilai, serta menumbuhkan jiwa kewirausahaan sejak dini.
Proses belajar anak-anaknya pun dilakukan dengan metode ‘nyantrik’, yakni belajar langsung dari orang-orang hebat melalui pengalaman nyata. Di atas semua itu, fondasi utama keluarga diletakkan pada kesamaan visi antara suami dan istri, dengan kurikulum pendidikan yang bertumpu pada iman, adab, dan akhlak, serta ibu sebagai pendidik utama di rumah.
Hasilnya, anak-anak Septi tumbuh sebagai pribadi mandiri dan visioner, Enes menempuh studi di Singapura dengan bermodal kerja dan usaha mandiri, Ara mengembangkan peternakan sapi sejak usia belia, dan Elan aktif menciptakan robot dari bahan daur ulang.
Pesan untuk Perempuan dan Para Ibu Indonesia
Dikutip dari Koran Jakarta, Septi menegaskan bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah profesi yang sangat mulia. Ia mengingatkan bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam menentukan masa depan bangsa melalui pendidikan keluarga.
“Ketika kita mendidik anak, sesungguhnya kita sedang mendidik satu generasi,” tegasnya.
Bagi Septi, perempuan tidak harus memilih antara karier dan keluarga. Keduanya bisa berjalan berdampingan jika dikelola dengan visi dan ilmu yang tepat.
Baca Juga: Mengenal Najelaa Shihab: Sosok di Balik Gebrakan Pendidikan