Gudang Garam adalah salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, yang dikenal dengan produk rokok kretek, yaitu rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh. Kisah berdirinya berawal sejak tahun 1958, di kota Kediri, Jawa Timur.
Gudang Garam memiliki perjalanan sejarah yang panjang dalam memulai kesuksesannya, dimulai dari sebuah usaha kecil hingga menjadi raksasa industri yang mendunia.
PT Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam Tbk, diperdagangkan sebagai PT Gudang Garam Tbk, adalah perusahaan tembakau Indonesia, yang terkenal dengan produk kretek. Perusahaan ini adalah produsen tembakau terbesar di Indonesia, dengan pangsa pasar hampir 33%.
Baca Juga: Menapaki Kisah Sukses Perjalanan Larutan Cap Kaki Tiga
Produk kretek yang diproduksi pertama kali oleh Gudang Garam adalah SKL dan SKT. Berawal dari industri rumahan, perusahaan kretek Gudang Garam telah tumbuh dan berkembang seiring tata kelola perusahaan yang baik dan berlandaskan pada filosofi Catur Dharma. Nilai-nilai tersebut merupakan fondasi dasar perushaan dalam tata laku dan kinerja perusahaan bagi karyawan, pemegang saham, serta masyarakat luas.
Perusahaan ini didirikan pada tanggal 26 Juni 1958 oleh Tjoa Ing Hwie, yang mengganti namanya menjadi Surya Wonowidjojo. Apa yang dicapai Gudang Garam saat ini tentunya tidak terlepas dari peran penting sang pendiri, Surya Wonowidjojo. Ia adalah seorang wirausahawan sejati yang dimatangkan oleh pengalaman dan naluri bisnis.
Baca Juga: Kisah Pendirian Maspion Group, Mulai dari Usaha Keluarga hingga Merajai Pasar Indonesia
Wonowidjojo berusia 20-an ketika pamannya menawarinya pekerjaan sebagai tukang tembakau dan saos di pabrik kretek miliknya, Cap 93. Cap 93 merupakan salah satu merek kretek paling terkenal di Jawa Timur. Berbekal pengalaman dan pengetahuan selama bekerja itulah, Surya memberanikan diri untuk mendirikan perusahaan rokoknya sendiri saat berusia 35 tahun. Lokasi pabrik Surya berada di Jalan Semampir II/l, Kediri, dengan luas kurang lebih 1000 m².
Kerja keras dan ketekunannya membuahkan hasil dengan promosi jabatan sebagai Kepala Bagian Tembakau dan Saos, yang akhirnya mengantarkan Wonowidjojo menjadi direktur perusahaan. Wonowidjojo meninggalkan Cap 93 pada tahun 1956, membawa serta 50 karyawannya.
Ia mulai membeli tanah dan bahan baku di Kediri dan segera mulai memproduksi kretek klobot miliknya sendiri, yang dipasarkannya dengan merek Inghwie. Dua tahun kemudian, ia mengganti nama dan mendaftarkan perusahaannya menjadi Pabrik Rokok Tjap Gudang Garam.
Baca Juga: Kisah Sukses Gudang Garam di Tangan Sang Pewaris
Dirinya memilih nama Gudang Garam setelah bermimpi tentang gudang garam tua yang berdiri di seberang Cap 93. Sarman, salah satu dari 50 karyawan awal yang mengikutinya saat ia keluar dari Cap 93, menyarankan agar ia menempelkan gambar gudang tersebut pada setiap bungkus kreteknya untuk keberuntungan.
Kemudian, Gudang Garam tumbuh pesat, dan pada akhir tahun 1958, pabrik tersebut memiliki 500 karyawan yang memproduksi lebih dari 50 juta batang rokok kretek setiap tahunnya. Pada tahun 1966, setelah hanya delapan tahun berproduksi, Gudang Garam telah tumbuh menjadi pabrik rokok kretek terbesar di Indonesia, dengan produksi tahunan sebesar 472 juta batang. Konsumen telah memperhatikan bahwa Gudang Garam, khususnya Inghwies, memiliki bau yang mirip dengan minuman beralkohol.
Pada tahun 1969, Gudang Garam memproduksi 864 juta batang rokok per tahun dan tidak diragukan lagi merupakan produsen rokok kretek terbesar di Indonesia dan Taiwan. Pada tahun 1970-an, Gudang Garam mulai mengembangkan sayapnya, memperluas kapasitas produksi dan mengadopsi teknologi baru untuk meningkatkan kualitas rokok yang dihasilkan.
Baca Juga: Kisah Sukses Dji Sam Soe, Brand Rokok Kretek Asli Indonesia yang Melegenda
Pada masa ini, Gudang Garam mulai memproduksi berbagai jenis rokok, baik rokok kretek maupun rokok putih, yang dikenal dengan merek-merek terkemuka seperti Gudang Garam International, Gudang Garam Signature, dan lainnya.
Salah satu kunci kesuksesan Gudang Garam adalah kemampuannya untuk menjaga kualitas produknya. Selain itu, perusahaan ini juga dikenal inovatif dalam pemasaran dan distribusi produknya, menjangkau berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan menengah hingga atas.
Pada tahun 1979, Wonowidjojo merenovasi sepenuhnya sistem produksi Gudang Garam, memesan tiga puluh mesin pelinting, dan mengembangkan formula baru untuk rokok kretek buatan mesinnya.
Surya memimpin perusahaan ini hingga ia menutup mata pada tahun 1984. Setelah meninggal, roda kepemimpinan perusahaan diambil alih oleh Tjoa To Hing atau Rachman Halim yang merupakan kakak dari Susilo Wonowidjojo, Presiden Direktur Gudang Garam Tbk saat ini. Kemudian di tahun 2000, kendali perusahaan diserahkan kepada putra Wonowidjojo, yaitu Susilo Wonowidjojo, yang kemudian menjadi orang terkaya di Indonesia.
Baca Juga: Kisah Sukses Bonavie, Parfum Lokal yang Merasakan Peningkatan Bisnis Berkat Fitur Live Shoping
Pada awal tahun 2000-an, Gudang Garam mulai melakukan ekspansi ke pasar internasional. Dengan kualitas produk yang telah diakui di dalam negeri, Gudang Garam mulai menembus pasar ekspor ke berbagai negara di Asia, Eropa, dan Amerika. Hal ini semakin mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pemain besar di industri rokok global.
Mengutip data dari Forbes, hingga kini, Gudang Garam mulai mengoperasikan Bandara Internasional Dhoho pada April 2024, dan memulai pembangunan jalan tol yang menghubungkan bandara tersebut dengan Kediri, sebuah kota di Jawa, pada Oktober 2024.
Saat ini, Gudang Garam terus berinovasi dan mengembangkan produknya. Di tengah berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ketat, Gudang Garam tetap berusaha beradaptasi dengan berbagai kebijakan tersebut. Perusahaan ini juga berupaya meningkatkan keberlanjutan dengan fokus pada pengelolaan lingkungan dan tanggung jawab sosial perusahaan.