Penurunan jumlah kelompok masyarakat kelas menengah selama beberapa tahun terakhir menjadi sorotan. Kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang memiliki peran penting karena kelas menengah menopang konsumsi rumah tangga sebesar 81,49%. Kelas menengah menentukan perubahan karena memiliki peran penting dalam kinerja pembangunan ekonomi dan memainkan peran sosial-politik penting. 

Meskipun memiliki kontribusi besar bagi perekonomian, kelas menengah di Indonesia kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Masyarakat kelas menengah memiliki banyak beban punguan baru dan kenaikan harga-harga, sementara kelas menengah tidak termasuk dalam kriteria untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah. 

Fenomena ini tentunya memiliki beberapa dampak dalam perekonomian Indonesia. Kenapa fenomena ini dapat terjadi?

Tren Penurunan Masyarakat Kelas Menengah

Kelas menengah menurut laporan World Bank yang berjudul Aspiring Indonesia-Expanding Middle Class adalah kelas menengah merupakan mereka yang tingkat pendapatannya cukup untuk menikmati keamanan ekonomi dan terhindar dari jatuh kembali ke dalam kemiskinan dan kerentanan atau berpenghasilan antara Rp1,2 Juta hingga Rp6 Juta per orang per bulan. Masyarakat kelas menengah dianggap sebagai masyarakat yang menikmati keamanan ekonomi. Namun, bukan berarti masyarakat kelas menengah sepenuhnya dapat bebas dari kemiskinan. 

Baca Juga: Jumlah Kelas Menengah Turun, Mungkinkah Gagasan Indonesia Emas 2045 Terwujud?

Mengutip dari laman CNBC Indonesia, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkap bahwa kelas menengah adalah kelas penting karena mereka adalah bantalan perekonomian. Dalam perekonomian sebuah negara, semakin tebal proporsi kelas menengah, akan semakin kuat perekonomian dalam menghadapi goncangan yang datang dari internal dan eksternal negara.

Amalia menambahkan, kelas menengah merupakan big spender dan fast spender yang akan membantu dalam penerimaan. Di sisi supply, kelas menengah umumnya diisi oleh usia produktif. Jika usia produktifnya kuat, mereka akan menjadi supply tenaga kerja yang lebih produktif.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat kategori kelas menengah selama lima tahun terakhir mengalami penurunan. BPS mencatat, jumlah kelas menengah mengalami penurunan dari 57,33 juta (21,45%) pada 2019 menjadi 47,85 juta (17,13%) pada 2024. Terdapat 9,48 juta masyarakat kelas menengah Indonesia yang turun kelas selama lima tahun terakhir. 

Jumlah penduduk kategori menuju kelas menengah terus mengalami peningkatan. BPS mencatat jumlah penduduk kategori menuju kelas menengah dari 128,85 juta (48,20%) pada 2019 menjadi 137,50 juta (49,22%) pada 2024. Terdapat sekitar 8,65 juta masyarakat kelompok menuju kelas menengah yang terus bertambah selama lima tahun terakhir.

Pada penduduk kategori kelas rentan miskin mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. BPS mencatat, jumlah kategori kelas rentan miskin mengalami peningkatan pada 2019 dari 54,97 juta (20,56%) menjadi 67,69 juta (24,23%) pada 2024.Terdapat sekitar 12,72 juta masyarakat kelompok menuju kelas menengah yang terus bertambah selama lima tahun terakhir. 

Penyebab Kelas Menengah Jatuh Miskin

Ada beberapa penyebab kelas menengah jatuh miskin. BPS mengatakan COVID-19 memiliki pengaruh terhadap penurunan kelas menengah di Indonesia. Pandemi meningkatkan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga meningkatkan jumlah pengangguran. 

Meski demikian, mengutip dari laman BBC Indonesia, Peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengatakan tidak setuju bila Covid-19 disebut akar masalah anjloknya kelas menengah. Pandemi Covid-19 hanya memperparah, bukan pemicu utama menurunnya jumlah kelas menengah.

Beberapa kebijakan dari pemerintah juga mempengaruhi menurunnya kelas menengah. Kebijakan-kebijakan baru seperti rencana kenaikan PPN 12%, rencana pembatasan BBM subsidi, rencana subsidi KRL berbasis NIK, iuran Tapera, dan masih banyak lagi, membuat kelas menengah merasa tertekan. 

Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, mengatakan banyaknya pajak/iuran baru diberbagai bidang dianggap memberatkan kelas menengah. Hal ini berkaitan bahwa kelas menengah seringkali tidak mendapatkan subsidi yang diterima masyarakat kelas ekonomi bawah tetapi tidak memiliki sumber daya sebanyak kelas ekonomi atas. Topik-topik berisi keluhan terhadap kebijakan menunjukkan adanya ketidak berpihakan terhadap masyarakat, terutama kelas menengah. 

“Terlihat dari jumlah perbincangan dan yang mereka rasakan dari munculnya berbagai iuran yang muncul dalam berbagai diskusi mereka. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Api pemantiknya adalah iuran-iuran dan wacana-wacana dari pemerintah,” ujar Eko dalam diskusi publik bertajuk “Kelas Menengah Turun Kelas”, Senin (9/9/2024).

Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB, Yorga Permana, mengatakan kurangnya lapangan kerja formal juga mempengaruhi menurunnya kelas menengah. Banyak pekerja gig di Indonesia sejalan dengan ketidakadaan pekerjaan layak di sektor formal yang bersinggungan dengan penurunan kelas menengah.

“Hanya ada 15% pekerjaan di sektor formal yang masuk ke kategori ini (kelas menengah),“ ujar Yorga dalam diskusi publik bertajuk “Kelas Menengah Turun Kelas”, Senin (9/9/2024).

Tingginya kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) mempengaruhi pengeluaran masyarakat kelas menengah. Mengutip laman CNBB Indonesia, Ekonom senior INDEF, Faisal Basri, mengatakan kelas menengah akan terimbas paling cepat terhadap suku bunga BI Rate karena kebutuhan dan kemampuan mereka.

Faisal menyebut jika nilai tukar rupiah yang terus tinggi meski BI Rate naik juga akan membuat daya beli masyarakat kelas menengah kian tertekan. Terlebih lagi pendapatan masyarakat kelas menengah tidak selalu mengimbangi kenaikan biaya pokok pengeluaran.