Dato Sri Tahir tak hanya dikenal sebagai pengusaha kawakan, dia juga dikenal sebagai pengusaha yang filantropis. Sukses dengan Mayapada Group, ia mendirikan Tahir Foundation, sebuah organisasi nirlaba.
Organisasi ini memiliki visi untuk Indonesia yang lebih baik di mana setiap individu memiliki akses untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai guna meningkatkan kualitas hidup mereka.
Pria yang terlahir atas nama Ang Tjoen Ming ini dikenal murah hati memberikan donasi kepada orang sakit, orang miskin, dan orang yang butuh dana pendidikan. Bahkan orang terkaya dunia Bill Gates mengakui itu. Sikap berbagi Tahir diutamakan dalam dunia pendidikan dan sosial.
Saat ini, Tahir masuk lingkar istana lantaran posisinya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres. Berdasarkan informasi Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) 2020 yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (7/9/2021), kekayaan Tahir mencapai Rp8,743 triliun. Meski tajir melintir, Tahir tak melupakan kaum dhuafa. Mungkin karena Tahir merangkak dari bawah.
Lewat Tahir Foundation miliknya, Tahir pun kerap melakukan beragam kegiatan kemanusiaan dan membuktikan diri menjadi orang yang berdiri paling depan dalam program filantropi untuk pemberdayaan umat yang berkelanjutan.
Diketahui meski menganut agama non-Islam, namun Tahir kerap dekat dengan organisasi Islam non-pemerintah seperti Muhammadiyah. Lantas, seperti apa bentuk kedekatan Tahir dengan Muhammadiyah tersebut?
Gandeng Muhammadiyah untuk Meningkatkan Kualitas SDM di Indonesia
Perjalanan masa lalu Tahir membuatnya ringan tangan untuk membantu sesama manusia. Lewat Tahir Foundation yang digagasnya, Tahir pun kerap memprioritaskan bidang pendidikan dan kesehatan sebagai program utama. Menurutnya, kedua bidang ini bisa mendorong peningkatan kualitas SDM dan pemimpin bangsa.
Saat diangkat menjadi Anggota Wantimpres pada 13 Desember 2019 lalu, Tahir mengaku ingin memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengenai persoalan kemiskinan. Suami Rosy Riady ini bilang, hal ini memang sudah lama menjadi fokusnya.
Salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu, kata Tahir, adalah dengan bagaimana membuat sektor swasta bisa memberikan kontribusi di bidang kesehatan atau pendidikan bagi mereka yang membutuhkan.
Nah, salah satu langkah konkret Tahir meningkatkan kualitas SDM di Indonesia adalah dengan menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) dan PP Muhammadiyah untuk bekerja sama dalam bidang pendidikan, kesehatan dan penciptaan lapangan kerja dalam rangka mendorong pemberdayaan kelompok masyarakat petani, nelayan dan kaum buruh perkotaan.
Tak tanggung-tanggung, Tahir Foundation pun menggelontorkan dana mencapai Rp 250 miliar dalam program yang berjalan selama 5 tahun ini.
Ia menuturkan, kerjasama tripartit dengan menggandeng UGM dan Muhammadiyah adalah salah satu komitmen mereka untuk mendorong terlaksananya membangun masyarakat Indonesia dari pinggiran. Dikatakan Tahir, kegiatan filantropi yang dilakukannya bukanlah semacam program CSR, melainkan komitmen untuk terus memberikan kontribusi pada bangsa dan negara.
"Saya bagian dari Indonesia. Setiap saya mendengar lagu Indonesia Raya, hati saya selalu bergetar, saya ingin mengembalikan kesuksesan yang sudah saya raih ini. Rasanya seluruh harta saya untuk saya sumbangkan bagi negeri ini, saya mau," kata Tahir.
Dikatakan Tahir, dipilihnya UGM dan Muhammadiyah dalam kerja sama ini dengan alasan UGM memiliki pengalaman panjang serta jaringan luas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern terbesar di Indonesia yang juga telah melakukan program-program filantropi di berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam kesempatan etrsebut, Ketua PP Muhammadiyah, Dr. H. Haedar Nashir, M. Si., mengatakan, seorang Tahir merupakan satu persen orang yang peduli di antara beberapa persen orang lain yang tidak peduli.
Adapun, kerja sama ini hanya sebagian kecil dari banyak hal yang telah dilakukan oleh Tahir melalui Tahir Foundation. Melalui komitmennya selama ini, TF menjadi sebuah lembaga filantropi terbesar di Asia dan menjadi satu-satunya lembaga di Asia yang menerima UNHCR Eminent Advocate atas perhatiannya terhadap penanganan masalah pengungsi, seperti bantuan terhadap Komisi Masalah Pengungsi PBB dalam menangani pengungsi Suriah dan anak-anak pengungsi Rohingnya. TF juga terlibat dalam aksi kemanusiaan pascabencana melalui dana filantropi yang disediakannya.
Terkait aksi sosialnya ini, Tahir memaparkan salah satu filosofi hidupnya, “Adalah suatu hal yang memalukan apabila seseorang meninggal dalam kekayaan. Meninggal dalam ibadah adalah sesuatu yang agung.”
Tahir merasa bahwa ini merupakan kewajiban yang harus dilakukannya sebagai bagian dari Indonesia. Dalam salah satu pernyataanya, Tahir pun mengaku rela memberikan hartanya, 100% untuk kemiskinan di Indonesia.
“Saya ingin memenuhi hidup ini dengan karier, dengan sosial, dengan keluarga, dengan ibadah,” kata Tahir.
Baginya, antara keempat unsur tersebut satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Berbisnis dan berbuat amal tidak dapat dipisahkan. Apalagi, ia yakin dengan beramal, tidak akan membuatnya miskin. Justru, beramal akan semakin membuatnya giat untuk berbisnis. Pasalnya, ada tanggungan beramal yang harus ia tunaikan.
Baca Juga: Kisah Menyentuh Dato Sri Tahir di Balik Pendirian RS Mayapada
Alasan Tahir Aktif Melakukan Kegiatan Filantropi
Tahir yang merintis usahanya dari bisnis garmen dan dealer mobil pada 1986 juga punya prinsip tersendiri soal filantropi. Hobi menggelontorkan dana amal dan menjadi seorang filantropi itu disebutnya tidak lepas dari riwayat masa lalunya yang berasal dari keluarga tidak mampu.
"Saya datang dari keluarga miskin yang tidak punya apa-apa. Hal itu menggerakan saya untuk bisa membantu orang banyak. Saya merasa solid dan penuh sukacita dengan melakukan itu,” ujar Tahir.
Dikatakan Tahir, konsep filantropi pada umumnya akan dianggap tak sejalan dengan bidang usaha. Namun, baginya kemanusiaan merupakan tanggung jawab setiap manusia. Tahir mengatakan kepedulian tersebut bukan hanya sekadar ajaran agama yang mewajibkan untuk saling menolong. Dia mengatakan hal itu juga berasal dari panggilan batin.
Dalam satu kesempatan, Tahir pernah mengatakan bahwa habitatnya adalah habitat orang miskin. Ia pun menyebut dirinya sebagai orang miskin yang beruntung. Ia mengaku, selalu merasa nyaman bergaul dengan orang-orang yang kurang beruntung. Justru, ia akan merasa kurang nyaman bila berkumpul dengan orang kaya.
“Saya nyaman bersama orang miskin. Ketika saya memberikan bantukan, maka saya harus menempatkan diri sederajat dulu dengan mereka, baru bantuan saya salurkan. Jadi, sharing bantuan itu bukan dari orang kaya, tetapi dari orang miskin. Kami sederajat. Hanya saja, posisi hari ini mereka kurang beruntung, sedangkan saya agak beruntung,” beber Tahir, dikutip dari beritasatu.
Tahir juga tidak pernah menerapkan rumus baku berapa persen dari harta kekayaan yang disumbangkan untuk aktivitas berderma. Namun, menurutnya memberikan bantuan adalah kegiatan yang mulia karena bisa menolong banyak orang.
Lebih lanjut, Tahir mengatakan bahwasannya ada 4 tipe manusia yang di dunia ini, dan salah satunya merupakan yang mampu mengubah dunia. Pertama adalah orang bergerak dengan seadanya, kedua merupakan orang yang bertanggung jawab, ketiga adalah orang yang memiliki komitmen, dan terakhir adalah orang yang mampu berpikir visioner. Tahir pun meyakini bahwa dunia ini mampu berubah menjadi lebih baik apabila banyak orang yang berfikir jauh ke depan.
Terakhir, Tahir pun mengatakan, filantropi bukan suatu bentuk rasa iba terhadap orang lain, melainkan suatu komitmen yang harus dilakukan oleh setiap orang. Kemudian ia pun mengatakan bahwa manusia harus keluar dari kotak yang mengekang dirinya untuk memulai sesuatu yang baru.
“Kekayaan yang besar akan mendatangkan kewajiban yang besar pula,” pungkasnya.
Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Masuk Keluarga Konglomerat Mochtar Riady