Berdasarkan hasil riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), pemberlakuan cukai MBDK dapat mengurangi beban kasus diabetes melitus tipe 2 di Indonesia hingga 2033.

“Pemberlakuan cukai MBDK dapat mengurangi angka penderita diabetes melitus tipe 2 dan dapat mencegah potensi 455.310 kasus kematian kumulatif akibat penyakit tersebut dalam sepuluh tahun ke depan,” ujar Health Economics Research Associate CISDI, Muhammad Zulfiqar Firdaus, dalam peluncuran riset beberapa waktu lalu

Potensi Keuntungan ke Kantong Negara

Terlepas dari masalah kesehatan serius yang dapat mengintai masyarakat akibat mengonsumsi MBDK, ada potensi keuntungan pula dari penerapan cukai minuman manis ke kantong negara. 

Menukil dari laman CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyampaikan kepada Komisi XI DPR RI pada Februari 2020 terkait cukai minuman manis. Menurutnya, potensi penerimaan yang didapatkan negara dari cukai MBDK bisa mencapai Rp6,25 triliun.

Saat itu, Sri Mulyani turut mengusulkan tarif cukai untuk teh kemasan Rp1.500 per liter. Mengingat, berdasarkan data Kemenkeu, produksi teh kemasan mencapai 2.191 juta liter per tahun. Sehingga, potensi penerimaannya bisa sebesar Rp2,7 triliun.

Baca Juga: Pemerintah Usul ASN yang Pindah ke IKN Dapat Insentif Rp100 Juta, Akankah Terealisasi?

Sementara untuk minuman karbonasi, Sri Mulyani mengusulkan tarif cukai sebesar Rp2.500 per liter dan produksinya mencapai 747 liter per tahun, sehingga potensinya Rp1,7 triliun.

Riset yang dilakukan oleh CISDI juga mengungkap akan potensi keuntungan bagi pemerintah dari penerapan cukai MBDK. Berdasarkan perhitungan CISDI, Indonesia bisa menghemat dana APBN hingga Rp40,6 triliun dari diterapkannya cukai minuman manis.

“Indonesia dapat menghemat hingga Rp 40,6 triliun dari penerapan cukai MBDK yang dapat menaikkan harga jual produk MBDK di pasar paling tidak sebesar 20 persen,” tutur Chief Policy and Research CISDI, Olivia Herlinda.