Wastra, kain tradisional Nusantara yang memancarkan keindahan dan filosofi kini tak lagi terkurung di lemari pusaka atau momen seremoni adat. Di tangan generasi baru, ia menjelma menjadi bahasa mode yang segar, berani, dan siap menapaki panggung internasional. Parade Wastra Nusantara 2025, hasil kolaborasi FIMELA dan Indonesian Fashion Chamber (IFC), pun menjadi buktinya.

Dengan mengusung tema “Keanggunan Warisan Budaya dengan Balutan Keseharian”, ajang Tata Wastra ini menantang desainer muda menciptakan karya yang tak hanya memukau di panggung, tetapi juga relevan dalam gaya hidup perempuan modern. Dan lebih dari sekadar kompetisi, Tata Wastra juga adalah ruang belajar, kolaborasi, dan eksplorasi yang menjaga denyut warisan budaya sambil membukakan pintu bagi inovasi.

Salah satu juri Tata Wastra, yakni Adinda Tri Wardhani, yang juga merupakan Deputy Editor in Chief FIMELA, menilai, kunci penilaian di kompetisi ini bukanlah sekadar pada keindahan visual.

“Aspek yang paling penting adalah kepedulian mereka terhadap wastra, dan bagaimana mereka mengelolanya. Jika busana bisa dikenakan, kita merasakan 'ritualnya'. Jadi bukan sekadar kostum,” tutur Adinda, saat sesi ‘Cerita Wastra’ di Atrium Mall Kota Kasablanka, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

Bagi FIMELA, kata dia, ajang ini adalah jembatan yang memperkenalkan wastra kepada desainer muda yang baru lulus atau merintis karier, sekaligus menginspirasi mereka untuk menjadikannya produk unggulan di masa depan.

Senada, juri Tata Wastra lannya, yaitu Deden Siswanto, yang juga merupakan desainer IFC, menegaskan bahwa wastra kini lebih fleksibel dari sebelumnya.

“Sekarang wastra bisa dipakai ke kampus, ke kantor, bahkan acara formal. Saya masih memakai kain dari ibu saya yang dibuat tahun 1975 karya Iwan Tirta yang saya ubah menjadi skirt. Ini membuktikan wastra adalah karya timeless,” ungkapnya.

Namun, Deden mengingatkan bahwa pemahaman akan nilai dan proses pembuatan wastra sama pentingnya dengan keahlian mendesain. Tantangan terbesar tetap pada harga produksi yang tinggi, terutama untuk kain yang dibuat secara tradisional.

Baca Juga: Parade Wastra Nusantara 2025 Resmi Dibuka, Tampilkan Karya Desainer Muda dan Keindahan Kain Tradisional

Proses Seleksi yang Ketat

Diketahui, sejak Mei 2025, lebih dari 300 karya terjaring di Tata Wastra. Seleksi ketat memangkas jumlah itu menjadi 25 karya unggulan, lalu 15 semifinalis yang mengikuti workshop pada 11 Juni. Akhirnya, tersaringlah lima finalis terbaik, yakni  Ayu Nur Khofipah, Nadila Nurfaiza, Desi Dwi Lestari, Carron Angel, dan Human Jasir.

Dan, pada Jumat (8/8/2025) kemarin, kelimanya pun memamerkan tiga look terbaik mereka di panggung Parade Wastra Nusantara hari pertama di Atrium Kota Kasablanka.

Kelima finalis Tata Wastra 2025 pun menampilkan ragam interpretasi segar terhadap wastra di panggung Parade Wastra Nusantara.

Carron Angel membuka peragaan lewat The Rise of Peranakan, memadukan batik megamendung dan motif kawung dalam palet pastel lembut yang diperkaya kain organdi berwarna-warni.

Lalu, Ayu Nur Khofipah menghadirkan sentuhan personal dari inspirasi ulang tahunnya yang ke-6, memanfaatkan teknik origami dan quilting pada sisa kain, cotton twill, serta batik Trusmi untuk menciptakan outer multifungsi yang dapat bertransformasi menjadi cape.

Selanjutnya Nadila Nurfaiza membawa penonton menelusuri kisah yang terinspirasi Laksamana Cheng Ho dan budaya Cirebon lewat koleksi bertajuk Yunara, dengan palet abu kabut, biru laut, dan cokelat tanah yang berpadu harmonis dengan batik Trusmi, denim, semi wool, dan pleats.

Kemudian, Desi Dwi Lestari memvisualisasikan bentuk batu karang lewat siluet lembut namun tegas, menggunakan katun campuran, cuwiri, dan batik Mega Mendung khas Trusmi.

Sementara itu, Human Jasir menutup peragaan dengan gaya clean chic berpotongan asimetris, mengombinasikan teknik dressmaking dan semi-tailoring dalam palet pink, oranye, dan biru cerah yang memancarkan energi dinamis pada busana feminin yang tetap wearable.

Persaingan ketat antar 5 finalis itu pun membuat juri bekerja ekstra. Namun, Desi Dwi Lestari akhirnya menyabet juara pertama, diikuti Nadila Nurfaiza (juara dua) dan Ayu Nur Khofipah (juara tiga). Carron Angel dan Human Jasir meski tak membawa pulang gelar, tetap meninggalkan impresi kuat dengan pendekatan unik pada wastra.

Bagi Adinda, semua finalis tahun ini sudah memiliki arah pasar yang jelas, dari yang siap masuk retail, cocok berkolaborasi, hingga yang berpotensi menjadi brand mandiri.

Kemudian, Deden menambahkan, keberhasilan di industri ini ditentukan oleh fokus, konsistensi, karakter, dan kemampuan menggabungkan seni dengan bisnis.

“Kompetisi ini bukan sekadar mencari juara, tapi membangun support system. Dengan kolaborasi yang tepat, wastra Indonesia bisa terus bertahan, berkembang, dan dikenal di panggung internasional,” pungkas Deden.

Baca Juga: Parade Wastra Nusantara 2025: Kemenparekraf Dorong Wastra Jadi Kekuatan Ekspor dan UMKM Nasional