Direktur Utama PERURI, Dwina Septiani Wijaya, memiliki pandangan yang dalam tentang keterhubungan manusia dengan alam. Baginya, ingatan masa kecil hingga filosofi hidup bangsa Indonesia menunjukkan betapa harmoni dan keselarasan menjadi inti dari identitas bangsa.
“Saya rasa kalau kita bicara Indonesia tentunya kita mulai dari lagu, mulai dari image, selalu kan kebayangannya sesuatu yang hijau, gemah ripah, dan selaras ya,” tutur Dwina, saat menjadi pembicara di acara konferensi pers Road to PERURI Bestari Festival, yang digelar di Gedung PERURI, Jakarta Selatan, Selasa (9/9/2025).
Dwina pun lantas langsung mengenang masa kecilnya, momen ketika ia tinggal di kota, namun tetap akrab dengan kehidupan alami di sekitar rumah.
“Waktu kecil saya punya rumah, walaupun di kota. Setiap bangun pagi, hal pertama yang saya lakukan dengan excited itu ke kandang ayam saya, ngecek ayam saya udah bertelur atau belum. Lalu saya lihat pohon cabai saya, metik yang sudah merah. Padahal saya tinggal di kota, tapi tetap bisa merasakan kedekatan dengan alam,” kenangnya.
Dari pengalaman sederhana itu, Dwina menilai bahwa harmoni dengan alam bukan sekadar soal fisik, tetapi juga bagian dari filosofi hidup masyarakat Indonesia. Ia menyebut bahwa leluhur bangsa sudah lama menanamkan pemahaman tentang keseimbangan semesta, baik yang terlihat maupun tak terlihat.
“Jadi kita adalah bangsa yang sebetulnya dalam segala hal itu harmoni, balance, itu menjadi core-nya kita. Sayangnya, sekarang dimensi itu terasa makin menyempit, jadi tidak sekaya dulu,” tambahnya.
Ketika ditanya soal nilai apa yang terasa luntur seiring modernisasi, Dwina menekankan pentingnya kembali ke akar, sesuai dengan tema yang diusung PERURI Bestari Festival 2025 yang didukung sepenuhnya oleh instansinya.
“Kita bicara tanaman atau alam, tapi akar atau back to your root itu bisa diaplikasikan secara luas. Indonesia ini bangsa yang tua, akar kita panjang dan teruji. Filosofi, budaya, semuanya sudah melalui evolusi yang panjang. Itu yang perlu terus kita ingat dan jaga,” jelasnya.
Bagi Dwina, menjaga 'akar' berarti tidak hanya merawat hubungan dengan alam, tetapi juga memastikan nilai-nilai luhur bangsa tetap hidup di tengah perkembangan zaman. Namun, menurutnya, keseimbangan itu kini mulai terkikis.
“Kita adalah bangsa yang sebetulnya inti nilainya adalah harmoni. Tapi kalau dilihat sekarang, dimensi itu seperti semakin mengecil, direduksi, sehingga kita kehilangan kekayaan nilai yang seharusnya kita miliki,” tambah Dwina.
Baca Juga: Road to PERURI Bestari Festival 2025: Ruang Kolektif untuk Kembali ke Akar dan Menemukan Jati Diri
Lebih jauh, Dwina pun menekankan pentingnya menjaga ‘akar’ dalam setiap langkah transformasi, termasuk di tubuh PERURI yang dipimpinnya.
“Semua industri akan harus bertransformasi di era digital. Tapi yang tidak boleh dilupakan adalah kita harus tahu akar kita, core kompetensi kita. PERURI sendiri misalnya, core-nya adalah menjamin keaslian. Itu yang kami bawa ke era digital. Jadi transformasi itu bukan berarti meninggalkan akar, melainkan menguatkannya,” kata Dwina.
Bicara tentang kolaborasi lintas sektor, termasuk keterlibatannya dalam event Bestari Festoval, Dwina melihatnya bukan hal baru.
“Sekarang kita sering dengar jargon kolaborasi. Padahal kalau bicara akar kita, sejak dulu bangsa Indonesia sudah mengenal gotong royong. Itu cara kita hidup,” ujarnya.
PERURI sendiri, kata Dwina, berusaha menghadirkan kontribusi nyata melalui inisiatif yang peduli lingkungan dan komunitas. Salah satunya lewat kehadiran Taman Kota PERURI di Blok M, yang ia sebut sebagai miniatur aspirasi kota hijau.
“Kami ingin kota bisa memberikan energi, bukan hanya ruang hijau, tapi juga ruang untuk kreativitas dan seni. Itulah kenapa kami menghadirkan Taman Kota Peruri dan sebelumnya membuka M Bloc sebagai creative hub. Karena authentic space lebih dihargai daripada kemewahan,” jelasnya.
Bagi Dwina sendiri, memahami ‘akar’ itu sendiri berarti memahami sejarah dan konteks, lalu membawanya ke masa depan.
“Untuk bisa membawa ke masa depan, kita harus tahu dari mana kita berasal. Saya di PERURI pun melakukan hal itu. Kenapa Bung Karno dan Bung Hatta dulu insist agar Indonesia punya percetakan uang sendiri? Karena itu bicara kedaulatan. Jadi ketika saya memimpin transformasi PERURI, saya tahu bahwa core-nya adalah menjaga kedaulatan Indonesia, kini juga termasuk kedaulatan data,” tegasnya.
Dwina percaya, kesadaran akan ‘akar’ inilah yang menjadi fondasi menghadapi era globalisasi dan digitalisasi.
“Kalau kita tidak tahu akar kita, kita mudah sekali kehilangan jati diri. Tapi kalau kita paham siapa kita dan dari mana kita berasal, kita akan punya arah yang jelas untuk melangkah ke masa depan,” pungkas Dwina.
Baca Juga: Soraya Cassandra Mengembalikan Keterhubungan Manusia dan Alam Lewat Kebun Kumara