Soraya Cassandra, co-founder sekaligus CEO Kebun Kumara, menghadirkan ruang edukasi ekologis di tengah hiruk pikuk kota sebagai jawaban atas keresahannya melihat hubungan manusia dan alam yang kian renggang.

Melalui Kebun Kumara, ia berupaya menumbuhkan kembali kesadaran ekologis masyarakat urban, menghadirkan pengalaman langsung bercocok tanam, serta mengajak orang-orang untuk merasakan kembali kedekatan yang tulus dengan bumi.

Meskipun lahir dan besar di kota, perempuan yang akrab disapa Sandra ini pernah merasakan kehidupan sederhana di desa. Pengalaman itu membekas kuat dan menjadi salah satu inspirasinya.

 “Jadi kalau aku ini kan justru lahir dan besar di kota, tapi aku sempat setahun tinggal di desa, waktu itu di Maluku, di Kepulauan Tanimbar. Aku tinggal dengan Mama Ola, seorang petani. Sering ikut beliau naik bukit, berkebun di pesisir. Buat aku itu pengalaman yang tidak ada di kota, keterhubungan dengan alamnya dekat sekali,” kenang Sandra, saat menjadi pembicara di acara konferensi pers Road to PERURI Bestari Festival, yang digelar di Gedung PERURI, Jakarta Selatan, Selasa (9/9/2025).

Menurut Sandra, pengalaman itulah yang menjadi salah satu akar yang kini sulit ditemukan di perkotaan.

“Kesadaran, prinsip hidup, pembelajaran, dan kepekaan itu sebenarnya ada di situ, di dalam interaksi manusia dengan alam. Tapi, di kota, akar itu tercabut. Kebun Kumara hadir untuk mengembalikan tradisi dan budaya keterhubungan dengan alam ke dalam ruang hidup, termasuk di ruang-ruang urban yang serba modern,” paparnya.

Dari Keresahan Menjadi Gerakan Kolektif

Sandra menuturkan, Kebun Kumara sendiri lahir dari kegelisahan sederhana, seperti mengapa manusia kota harus jauh-jauh pergi ‘healing’ ke gunung atau pantai untuk merasa terhubung dengan alam, dan mengapa pengalaman itu tidak bisa hadir di tengah kota.

“Manusia punya dua emosi kolektif terkuat, yakni connectedness (keterhubungan) dan belongingness (rasa memiliki tempat). Itu mestinya hadir di ruang hidup sehari-hari. Dan salah satu pintu untuk menghadirkannya adalah kehadiran alam. Sayang sekali di kota, pengalaman itu sangat terbatas. Akhirnya manusia jadi kaku, hidup di gedung yang kaku, bahkan interaksinya juga ikut kaku,” katanya.

Ia pun menambahkan, bukti keterikatan manusia dengan alam sebenarnya sudah terlihat sejak kecil.

“Kalau anak kecil tantrum, dibawa keluar, lihat daun bergerak, rasakan angin, langsung tenang. Tapi kalau dibawa ke mal, tambah tantrum. Itu membuktikan bahwa alam tidak terpisahkan dari manusia, dari sense of well-being kita, baik sebagai individu maupun masyarakat,” ujar Sandra.

Baca Juga: Road to PERURI Bestari Festival 2025: Ruang Kolektif untuk Kembali ke Akar dan Menemukan Jati Diri