Meski banyak tawaran kolaborasi, Muklay memilih kembali bekerja sama dengan Digimap. Menurutnya, alasannya sederhana, yaitu ekosistem Apple yang melekat dengan kesehariannya.
“Yang menyatukan gue adalah si iCloud. Gue perlu banget database besar, apalagi gue sering traveling. Gue bisa kerja di mana aja lewat iPad, terus di rumah tinggal pindahin ke MacBook. Fleksibel banget,” jelas Muklay.
Berbeda dengan kolaborasi pertamanya yang penuh warna, kali ini Muklay memilih palet yang lebih selektif.
“Kalau yang kemarin warnanya dar-der-dor banget, sekarang gue lebih toned down. Walaupun ada 30-an warna, tapi lebih dominan hijau dan biru. Jadi lebih adem,” ujar Muklay.
Bagi Muklay sendiri, tantangan terbesar dalam kolaborasi adalah menerjemahkan karya tangan menjadi produk jadi. Namun, ia mengapresiasi Digimap yang menurutnya memberi ruang penuh untuk berekspresi.
“Ketika karya ditransfer jadi produk, pasti ada tantangan. Tapi Digimap sangat membebaskan gue untuk membuat karya. Itu jarang banget terjadi di brand besar. Menurut gue, ini contoh bagaimana brand bisa menghargai visual artist,” jelasnya.
Menurut Muklay, kebebasan itu justru bisa jadi inspirasi, bukan hanya untuk seniman lain, tapi juga bagi brand-brand besar.
“Banyak visual artist yang stuck karena takut dikekang brand. Tapi kalau bisa ketemu di tengah, itu solusi terbaik. Digimap membuktikan kolaborasi bisa saling menghargai,” tutup Muklay.