Dalam pandangan Sandra, langkah kecil pun bisa berdampak besar jika dilakukan bersama. Ia menolak anggapan bahwa gerakan ekologis kecil tidak berarti.

“Menurut aku itu perspektif yang salah. Kalau orang merasa langkah kecil nggak berdampak, biasanya karena dia melihat dirinya sendirian. Padahal kita bergerak rame-rame. Cuma kita nggak tahu saja kalau ada ribuan orang lain yang melakukan hal yang sama,” jelasnya.

Itulah sebabnya, ruang kolektif menjadi penting. Sandra mencontohkan Taman Kota PERURI sebagai wadah kolektifitas yang bisa mempertemukan orang-orang dengan keresahan yang sama.

“Di situlah kita bergerak bersama sebagai kolektif. Jadi bukan lagi aksi kecil, tapi aksi besar karena dilakukan ramai-ramai,” tambahnya.

Kembali ke Akar untuk Masa Depan Indonesia

Dalam keterlibatannya dalam gelaran PERURI Bestari Festival 2025, Sandra pun memberikan pandangannya tentang tema yang diangkat event tersebut, yakni “kembali ke akar”. Menurutnya, tema tersebut memiliki makna yang sangat filosofis.

Ia pun menghubungkannya dengan kata human yang berasal dari humus, lapisan tanah paling subur di hutan.

“Kalau kita bisa mengenal tanah, mensakralkan tanah, mengolah dan merawatnya, itu berarti kita mengenal sebagian dari diri kita sebagai manusia. Bicara masa depan Indonesia, ya itu cinta tanah dan air. Jadi mungkin saatnya kita kembali mengelola tanah Indonesia itu sendiri,” tegasnya.

Melalui Kebun Kumara, Sandra tidak hanya menghadirkan ruang hijau, tetapi juga ruang belajar untuk mengenal kembali hakikat manusia, yaitu makhluk yang tumbuh bersama alam.

“Visi besarnnya sendiri sederhana, tapi mendasar, yakni menghadirkan kembali akar keterhubungan manusia dan alam, agar kota menjadi ruang hidup yang sehat, resilien dan penuh makna bagi generasi mendatang,” tandas Sandra.

Baca Juga: Cerita Personal Sheryl Sheinafia Bersama Polytron di Perayaan 50 Tahun