Bagi Rahne sendiri, uang selalu hadir dengan energi berat.
“Dulu aku melihat uang dengan ketakutan. Gak punya uang takut, punya uang juga takut. Setiap tanggal gajian malah pusing, padahal orang lain senang,” ujarnya.
Trauma finansial membuatnya selalu panik, yakni uang datang berarti segera habis untuk orang lain. Bahkan ketika sudah mencapai puncak karier sebagai CMO di sebuah startup dengan gaji besar, ketakutan itu tetap ada.
“Aku pikir, kalau sudah sampai tahap ini aku bakal tenang. Tapi, ternyata tetap nggak. Tetap takut, tetap pelit sama diri sendiri. Itu yang bikin aku akhirnya resign. Plot twist, ya,” tukasnya.
Proses panjang itu membawa Rahne pada pemahaman baru, yakni hidup adalah soal pilihan, bukan sekadar konsekuensi.
“Dulu aku selalu merasa terjebak di victim mentality. Tapi sekarang aku percaya, setiap pilihan membuka ribuan kemungkinan lain. Jangan takut memilih,” papar Rahne.
Ia juga belajar bahwa bakti kepada orang tua tidak selalu diwujudkan dalam bentuk materi besar.
“Ternyata yang mereka butuhkan sederhana, hanya telepon setiap hari. Aku pikir harus kasih rumah, ternyata mereka cuma ingin kedekatan,” ungkapnya.
Meski identitas sandwich generation sering dikaitkan dengan beban, Rahne memilih sudut pandang berbeda.
“Aku percaya, sebagai sandwich generation kita tetap bisa memilih kebahagiaan. Yang penting jangan mewariskan energi ketakutan kepada anak. Jangan sampai anak hanya mengenal kita sebagai orang tua yang sibuk kerja, padahal yang mereka butuhkan adalah kehadiran,” tandas Rahne.