Stres kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Tenggat waktu pekerjaan, tekanan finansial, hingga urusan personal sehari-hari sering kali membuat stres dipandang sebagai musuh yang harus dihindari atau dikendalikan sebelum berubah menjadi beban.
Namun, bagi Evan Spiegel, pendiri sekaligus CEO Snap Inc., stres justru memiliki makna yang berbeda.
Dalam perbincangannya di podcast Grit, Spiegel membagikan sudut pandang yang tidak biasa tentang bagaimana ia menghadapi tekanan di puncak industri teknologi.
Selama lebih dari satu dekade memimpin Snap Inc., ia telah melewati berbagai momen krusial, termasuk keputusan besar menolak tawaran akuisisi Facebook pada 2013. Alih-alih membiarkan tekanan menguasai dirinya, Spiegel memilih mengubah cara pandangnya terhadap stres.
Menurutnya, kunci utama terletak pada pola pikir. Spiegel tidak melihat stres sebagai ancaman, melainkan sebagai ‘hadiah’, sebuah kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan menjadi lebih tangguh.
Dengan berhenti memandang stres sebagai sesuatu yang menakutkan, tekanan tersebut perlahan kehilangan kekuatannya. Ketika kepanikan mereda, fokus pun meningkat.
Pandangan ini bukan sekadar motivasi kosong. Spiegel menegaskan bahwa pendekatannya didukung oleh riset ilmiah.
Ia merujuk pada buku The Upside of Stress karya Kelly McGonigal, peneliti dari Stanford University, yang menjelaskan bahwa stres dapat membantu seseorang tampil lebih baik ketika tidak lagi ditakuti.
Membingkai ulang stres atau mengubah cara kita menafsirkannya ternyata berpengaruh besar terhadap cara tubuh dan pikiran merespons tekanan.
Baca Juga: Sederet Kutipan Bill Gates tentang Kepemimpinan yang Relevan untuk Anak
Meski demikian, Spiegel menyadari bahwa perubahan pola pikir saja tidak cukup. Ia melengkapinya dengan rutinitas praktis untuk menjaga keseimbangan mental dan fisik.
Olahraga rutin, sesi sauna, serta meditasi menjadi cara baginya untuk melepaskan tekanan dan memproses stres secara internal, tanpa membawanya sepanjang hari.
Hal lain yang tak kalah penting bagi Spiegel adalah kesadarannya untuk tidak ‘menularkan’ stres kepada orang lain.
Ia percaya bahwa sebagai pemimpin, tanggung jawabnya adalah menyerap tekanan tersebut, bukan membebankannya kepada tim, keluarga, atau orang-orang terdekat. Baik di lingkungan kerja maupun kehidupan pribadi, ia berusaha agar stres tidak merusak relasi.
Setelah bertahun-tahun berada dalam situasi bertekanan tinggi, Spiegel mengakui bahwa stres kini tidak lagi terasa menakutkan. Tekanan menjadi bagian dari ritme kerja yang normal.
Seiring waktu, momen-momen intens tidak lagi terasa seperti keadaan darurat, melainkan sebagai tantangan yang memang harus dihadapi.
Nah Growthmates, pendekatan Evan Spiegel terbilang sederhana, namun efektif. Yakni, jangan lari dari stres, jangan takut padanya, dan jangan melampiaskannya pada orang lain.
Sebaliknya, jadikan stres sebagai sarana belajar, bangun rutinitas yang menyehatkan, dan biarkan pengalaman menempa ketangguhan diri.
Baca Juga: 5 Buku Favorit Bos Snapchat yang Bisa Bikin Cara Pikir Anda Berubah Total