Di tengah persaingan kerja yang makin ketat, banyak anak muda khususnya Gen Z, meyakini bahwa kepintaran dan kemampuan teknis adalah segalanya.
Namun, menurut Content Creator dan Entrepreneur Theo Derick, ada satu faktor krusial yang sering diabaikan, padahal justru menjadi penentu keberlanjutan karier, yakni hubungan antarmanusia.
“Yang membuat kalian sustainable adalah hubungan antara human dengan human,” tegas Theo dalam sebuah video, sebagaimana dikutip Olenka, Sabtu (27/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa secerdas apa pun seseorang, tanpa kemampuan membangun relasi yang baik, perjalanan kariernya bisa terhambat.
Theo pun menggambarkan dua karakter pekerja dengan kemampuan sama, tetapi sikap yang berbeda.
Menurut Theo, ada orang yang sangat cerdas dan cemerlang, tetapi memiliki sikap arogan, kasar, serta sulit diajak bekerja sama. Ketika suatu saat ia melakukan kesalahan, respons dari lingkungan pun cenderung dingin.
“Lu sih dari dulu gaya lu begitu, pantas lu jatuh, gue cari yang lain aja,” terang Theo, menirukan reaksi atasan.
Sebaliknya, jika seseorang pintar namun tetap rendah hati, santai, dan memiliki hubungan baik dengan atasan maupun rekan kerja, ia justru akan mendapat dukungan ketika melakukan kesalahan.
“Gak apa-apa bro, namanya manusia, lu bisa salah,” ujar Theo.
Dijelaskan Theo, kemampuan sosial bahkan bisa mengimbangi keterbatasan teknis.
“Lu gak perlu 90, lu cukup 75, tapi kemampuan sosial lu bagus, lu naik guys,” katanya.
Sebaliknya, nilai atau kompetensi setinggi apa pun bisa menjadi risiko jika tidak dibarengi sikap yang baik.
Baca Juga: Profil Theo Derick: Tumbuh di Gang Sempit, Kini Jadi Entrepreneur dan Kreator Finansial Berpengaruh
Ia mencontohkan sudut pandang seorang atasan saat hendak mempromosikan karyawan yang pintar tetapi berperilaku buruk.
“Ini anak pinter, tapi sengak. Kalau gue naikin, nanti gimana nih bawahan? Siapa yang mau ngikutin dia?” ungkap Theo, seraya menegaskan bahwa promosi bukan hanya soal kecakapan, tapi juga soal kepemimpinan dan penerimaan sosial.
Theo menyebut ini sebagai logic case atau keputusan rasional yang akan diambil siapa pun demi menjaga stabilitas tim dan organisasi.
Untuk memperjelas, Theo mengibaratkannya dengan urusan keluarga. Jika seorang ayah hendak mewariskan perusahaan kepada salah satu dari tiga anaknya, ia tentu akan memilih yang paling kecil risikonya bagi keharmonisan keluarga.
“Yang dia pasti pikir setidaknya tidak menghancurkan keluarga. Ini logic case,” tukas Theo.
Theo secara khusus menyampaikan pesan ini kepada Gen Z yang menurutnya sangat pintar dan berpengetahuan luas. Namun, ia juga menyoroti tantangan yang masih dihadapi.
“Gen Z zaman ini knowledgeable sekali. Tapi sorry to say, masalah etiknya cukup belum tertempa dengan baik,” katanya, seraya menegaskan bahwa hal ini wajar karena banyak yang baru lulus dan masih dalam proses pembentukan karakter.
Lebih jauh, ia pun menekankan satu prinsip sederhana, namun fundamental dalam kehidupan profesional.
“Hidup ini cuma masalah siapa butuh siapa,” tegas Theo.
Menurutnya, semakin tinggi kompetensi seseorang dan semakin baik karakternya, semakin besar pula kebutuhan orang lain terhadapnya.
“Makin lo pintar, makin lo karakternya bagus, orang butuh lo, lo di top of mind orang, udah pasti lo dapat project,” pungkasnya.
Baca Juga: Marcel Irawan Ungkap Peluang dan Tantangan Perusahaan Keluarga