Ada pepatah yang mengatakan, kegagalan bukanlah akhir dari pertempuran. Kalimat itu seperti sejalan dengan kisah hidup Dato Sri Tahir, pendiri Mayapada Group.

Sebelumnya berjaya dan hidup bergelimang harta seperti sekarang, Dato Sri Tahir harus menjalani kehidupan yang jauh dari kata mudah. Ia harus rela mengubur cita-citanya karena keterbatasan orang tua.

Pria kelahiran Surabaya, 26 Maret 1952 itu terlahir dari keluarga yang bisa dibilang kurang mampu. Sang Ayah, Ang Boen Ing, bekerja sebagai pembuat becak, sedangkan sang Ibu, Lie Tjien Lien, hanya penjaga toko kecil.

Hidup dengan penuh keterbatasan semasa kecil bukanlah penghalang semangat Tahir. Ia tumbuh menjadi anak yang berprestasi di bidang pendidikan.

Sosok Tahir muda memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Mimpinya cukup sederhana, ingin bekerja mandiri.

Baca Juga: Mengulik Kisah Dato Sri Tahir saat Kuliah di Singapura

Dengan menjadi dokter, Tahir muda berniat membuka praktik di depan rumah sendiri sehingga tidak perlu bekerja di bawah bayang-bayang orang lain.

Untuk mewujudkan mimpinya, selepas menyelesaikan SMA, Tahir sempat melanjutkan kuliah di Taiwan. Namun, takdir seperti menuntunnya.

Ia merasa tak betah dan tak cocok menjalani pendidikan di negeri itu. Terlebih, ketika ia mendapat kabar bahwa ayah yang menjadi tulang punggung keluarga sakit dan tidak bisa membiayai keluarga serta pendidikannya.

Mendengar kabar itu, ia langsung pulang dan meneruskan usaha ayahnya. Meski kondisi kesehatan ayahnya membaik, Tahir tetap enggan meneruskan pendidikannya ke Taiwan dan memilih gagal menjadi seorang dokter.

Lambat laun, Tahir mulai mengubur mimpinya dan berdamai dengan kegagalan.

Baca Juga: Kisah Dato Sri Tahir Ikuti Permintaan Orang Tua untuk Kuliah di Singapura

Pada usia 20 tahun, Tahir mendapatkan jalan hidup baru dengan menerima beasiswa di sekolah bisnis Nanyang Technological University (NTU) di Singapura.

Mimpi menjadi dokter tak berhasil ia wujudkan, namun jiwa pengusaha perlahan tumbuh saat ia menjalani pendidikan di NTU tersebut. Bermodal Rp700 ribu yang ia dapat dari ibunya, ia manfaatkan waktu luang di sela kesibukan kuliah untuk berdagang.

Biasanya, ia membawa satu sampai dua koper untuk diisi dengan berbagai barang belanjaan dari Singapura untuk dijual di Indonesia. Saat baru berdagang, ia mengaku tidak ada yang membimbing sama sekali. Semua ia kerjakan sendiri.

Padahal, di negeri itu, Tahir mengaku tak bisa Bahasa Inggris sama sekali. Yang ia tahu hanya beberapa kata, how much dan discount. Tapi, kelemahan tersebut tak lantas membuat Tahir minder. Justru dengan keuletan, usahanya tersebut akhirnya berkembang.

"Bahasa Inggris juga kacau ya orang Surabaya, bukan dari Jakarta, tapi Suroboyo. Itu pengalaman yang bagus untuk saya, saya ke Singapura, tinggal di losmen. Jadi inang-inang (berdagang). Itu sendiri ya, kesendirian membuat saya tabah hari ini," katanya, dikutip dari CNNINdonesia.

Setelah lulus dari Singapura tahun 1976, Tahir memulai bisnis dealership mobil, namun bisnis tersebut gagal. Kemudian, dia mencoba bisnis garmen yang ternyata membuahkan hasil positif.

Baca Juga: Makna dan Peran Becak dalam Kehidupan Dato Sri Tahir

Ia lalu mengembangkan Mayapada Group pada 1986 yang mengusahakan berbagai lini bisnis, salah satunya Bank Mayapada pada 1990. Setelah kinerja cemerlang Bank Mayapada, usaha garmen Tahir meredup.

Masih haus akan ilmu, Tahir kemudian melanjutkan studinya ke Golden Gates University, California, Amerika Serikat. Dari sana, dia memperoleh gelar Master of Business Administration (MBA) pada 1987, saat dirinya berusia 35 tahun. Selain itu, Tahir juga menerima kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya tahun 2008.

Berkat kerja kerasnya, Tahir kini memiliki kekayaan 5,4 miliar USD pada 2024 menurut Forbes. Dengan asumsi kurs JISDOR Rp15.460 per dolar AS, kekayaan keluarga Tahir itu menjadi sekitar Rp83,457 triliun.

Nilai tersebut menempatkan dirinya sebagai orang terkaya ke-605 di dunia saat ini. Sedangkan, di Indonesia pria 72 tahun itu tercatat sebagai orang terkaya ke-7.

Tahun lalu, Forbes menobatkan menantu Mochtar Riady itu sebagai orang terkaya ke-14 di Indonesia, dengan kekayaan US$4,2 miliar atau sekitar Rp69,12 triliun.