Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) membangun kolaborasi strategis dalam pengembangan riset dan inovasi terapi sel punca di Indonesia. Kolaborasi tersebut ditegaskan melalui Seminar Internasional BRIN-ASPI 2025, bertajuk “Future Directions and Opportunities in Stem Cell Innovation for Clinical Application and the Health Industry” pada 5–6 Agustus 2025 di Gedung B.J. Habibie BRIN, Jakarta.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Prof. Dr. drh. NLP Indi Dharmayanti, M.Si., menyatakan bahwa kemajuan teknologi sel punca harus disambut dengan kolaborasi terbuka dan dukungan regulasi yang adaptif. Ia juga menekankan bahwa transformasi dari laboratorium ke layanan kesehatan memerlukan infrastruktur riset yang kuat dan kepemimpinan kolaboratif antar lembaga.
Baca Juga: Kata BRIN: Minyak Sawit yang Paling Memungkinkan Disulap Jadi Energi
Untuk itu, lanjut Prof. Indi, BRIN telah menyiapkan berbagai program riset untuk pengembangan industri kesehatan. Hanya saja, keberhasilan atas riset-riset tersebut sangat bergantung pada kesinambungan kerja sama antar lembaga, peneliti, dan sektor terkait.
"Kolaborasi adalah kunci. Kita ingin memastikan bahwa semua program yang kami rancang bisa berjalan secara berkelanjutan dan memberikan hasil nyata bagi bangsa," ungkapnya di Jakarta, Rabu, 6 Agustus 2025.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua ASPI, Dr. dr. Rahyussalim, SpOT(K), menambahkan bahwa sinergi BRIN-ASPI membuka jalur baru untuk mempercepat translasi hasil riset menjadi terapi yang aman, efisien, dan terjangkau.
"Melalui forum ini, kita tidak hanya mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga membangun model implementasi terapi regeneratif yang kontekstual dengan tantangan lokal dan global,” jelasnya.
Sebagai informasi, sesi simposium mencakup bahasan topik cell-free therapy, bioengineering, uji klinis, hingga tantangan regulasi terapi sel. Narasumber utama termasuk Dirjen Farmalkes Kementerian Kesehatan, Kepala BPOM, hingga peneliti senior dari Iran, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand yang menampilkan pendekatan inovatif dari masing-masing negara.
Pada hari pertama, diskusi mengupas pemanfaatan secretome dan extracellular vesicles (EVs) untuk terapi non-seluler. Beberapa hasil riset menunjukkan efektivitas tinggi EVs dalam penyembuhan jaringan tanpa risiko imunitas silang. Hal ini membuka potensi besar pengobatan regeneratif yang lebih aman dan logistiknya lebih sederhana.
Hari kedua fokus pada terapi berbasis sel (cell-based therapy), termasuk uji klinis terapi stem cell untuk stroke, penyakit kardiovaskular, dan gangguan degeneratif lainnya. Peneliti dari BRIN dan mitra internasional mempresentasikan data pre-klinis hingga rencana hilirisasi produk kesehatan yang berbasis bukti ilmiah.
BRIN juga menegaskan komitmennya dalam mendukung pembentukan roadmap nasional untuk inovasi terapi sel punca. Peta jalan ini akan menjadi pedoman riset dan strategi adopsi teknologi medis berbasis sel yang inklusif dan memperhatikan kesiapan sistem kesehatan Indonesia.
Selain forum ilmiah, seminar juga menggelar kompetisi ilmiah untuk peneliti muda dan mahasiswa, sebagai upaya menumbuhkan ekosistem riset translasional sejak dini. Kompetisi ini dinilai sebagai bagian integral dari penciptaan SDM unggul dalam bidang biofarmasetika dan biomedis.
Workshop lanjutan yang dijadwalkan pada 14–15 Agustus 2025 akan mendalami teknik laboratorium, bioproses, dan analisis klinis dalam terapi sel punca. Kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas teknis para peneliti dan klinisi sebagai jembatan antara hasil riset dan layanan kesehatan.
BRIN dan ASPI sepakat untuk membentuk kolaborasi berkelanjutan lintas negara dan lintas sektor. Kolaborasi ini diharapkan melahirkan produk inovatif yang tidak hanya berbasis riset berkualitas, tetapi juga dapat diadopsi oleh industri kesehatan secara nyata.
Dengan diselenggarakannya seminar ini, Indonesia menunjukkan kesiapannya sebagai pemain utama dalam peta global terapi regeneratif. BRIN dan ASPI mengajak seluruh pihak untuk bergandeng tangan menciptakan ekosistem inovasi kesehatan yang berbasis ilmu pengetahuan, kolaborasi, dan keberlanjutan.