Media sosial kerap menampilkan potret pernikahan yang tampak ideal, seperti kejutan mobil mewah, hadiah barang bermerek, dapur yang selalu rapi, hingga momen memasak bersama dengan visual estetis. Pasangan-pasangan ini terlihat harmonis, romantis, dan nyaris tanpa konflik. Tayangan semacam itu dengan mudah menarik perhatian, terutama saat seseorang tengah berselancar di lini masa pada malam hari.
Namun, tanpa disadari, paparan tersebut kerap memunculkan perasaan tidak nyaman. Perbandingan pun terjadi. Ketika realitas di rumah tidak seindah yang ditampilkan di layar, pasangan yang sibuk dengan kegiatannya sendiri, pekerjaan rumah yang menumpuk, atau rutinitas yang terasa monoton, pertanyaan mulai muncul, "Apakah pernikahan ini benar-benar membahagiakan?". Pada titik ini, standar kebahagiaan perlahan bergeser, dari pengalaman personal menjadi tolok ukur yang dibentuk oleh media sosial.
Ketika Pernikahan Menjadi Tontonan
Fenomena ini sejalan dengan gagasan pemikir Prancis, Guy Debord, melalui teorinya The Society of the Spectacle. Debord menjelaskan bahwa masyarakat modern cenderung lebih menekankan pada bagaimana sesuatu tampak, alih-alih bagaimana sesuatu itu dijalani. Kehidupan, termasuk pernikahan, perlahan berubah menjadi rangkaian representasi yang dikonsumsi publik.
Jika sebelumnya pernikahan identik dengan percakapan jujur di meja makan dan kehadiran emosional antar pasangan, kini tidak jarang momen tersebut diukur dari seberapa menarik ia ditampilkan di media sosial. Foto makan malam romantis, unggahan liburan bersama, hingga konten keseharian rumah tangga menjadi bagian dari “pertunjukan” yang dinilai melalui jumlah likes dan komentar.
Pada titik inilah kebahagiaan berisiko menjadi komoditas. Fokus bergeser dari membangun hubungan yang autentik menjadi merawat citra keluarga ideal. Di balik layar, pasangan bisa saja justru kehilangan kedekatan, rasa syukur, dan koneksi emosional karena terjebak dalam standar kebahagiaan yang diciptakan oleh algoritma.
Baca Juga: Andy F Noya ungkap Cara Mencegah Ribut Soal Uang dengan Pasangan
Jebakan "Cermin" yang Bikin Insecure
Selain menjadi tontonan, media sosial juga bekerja sebagai cermin psikologis. Jacques Lacan, melalui konsep Mirror Stage, menjelaskan bagaimana manusia kerap membentuk identitas dari bayangan ideal yang ia lihat. Dalam konteks ini, pasangan-pasangan viral di media sosial menjadi refleksi semu tentang “pernikahan ideal”.
Masalahnya, yang terlihat hanyalah potongan singkat dari realitas, video 15 detik yang telah dikurasi, disunting, dan dipilih secara selektif. Meski demikian, dampaknya nyata. Banyak orang mulai merasa kurang hanya karena pasangannya tidak memenuhi standar visual tersebut, seperti tidak rutin memberi kejutan romantis, tidak sering berlibur mewah, atau tidak menampilkan kemesraan di ruang publik digital.
Padahal, kebahagiaan dalam pernikahan bersifat subjektif dan tidak bisa diseragamkan. Ketika standar itu terus diambil dari luar diri, rasa puas dan syukur terhadap apa yang dimiliki pun perlahan memudar.
Yuk, Tarik Napas dan Kembali ke Realitas
Mengejar standar couple goals di media sosial pada akhirnya melelahkan. Selalu akan ada pasangan lain yang terlihat lebih romantis, lebih mapan, dan lebih bahagia. Karena itu, penting untuk kembali memaknai pernikahan sebagai relasi yang dijalani, bukan dipertontonkan. Beberapa langkah sederhana dapat membantu pasangan keluar dari jebakan tersebut, seperti:
- Memvalidasi kebahagiaan dari dalam hubungan, bukan dari respons publik di media sosial.
- Memberi ruang pada momen tanpa kamera, hadir sepenuhnya dalam percakapan dan kebersamaan tanpa dorongan untuk mendokumentasikan segalanya.
- Menerima bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari pernikahan yang nyata, pertengkaran kecil, rutinitas membosankan, hingga pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.
Baca Juga: 4 Tips Kelola Keuangan untuk Pasangan yang Baru Menikah
Pada akhirnya, pertanyaan tentang kebahagiaan pernikahan hanya bisa dijawab oleh dua orang yang menjalaninya. Bukan oleh jumlah likes, komentar, atau pengakuan warganet. Pernikahan bukanlah panggung pertunjukan, melainkan proses panjang dua individu yang saling belajar, memahami, dan bertumbuh bersama.
Oleh: Ghaisani Dwi Miranti
Magister Ilmu Komunikasi - Universitas Bakrie