Di tengah derasnya arus globalisasi fashion, wastra, kain tradisional Indonesia seperti tenun, batik, dan songket kian mencuri perhatian sebagai identitas budaya yang kuat.
Desainer Indonesian Fashion Chamber (IFC), Deden Siswanto, pun melihat adanya transformasi besar dalam cara masyarakat memandang dan mengenakan wastra.
Menurutnya, kain tradisional kini tidak lagi terbatas pada acara resmi, melainkan sudah merambah gaya busana sehari-hari.
“Sekarang wastra lebih mudah dipikirkan dalam format kasual. Bisa dipakai ke kampus, ke kantor, bahkan ke acara formal. Saya sendiri masih memakai kain dari ibu saya yang dibuat tahun 1975, karya Iwan Tirta yang saya ubah menjadi skirt. Ini membuktikan bahwa wastra adalah karya yang timeless,” ungkap Deden, saat menjadi pembicara di acara Tata Wastra, di Atrium Mall Kota Kasablanca, Jakarta, belum lama ini.
Pria kelahiran Bandung, 29 Agustus 1968 ini menambahkan, wastra khususnya batik kini menjadi favorit banyak orang. Dan kata dia, kini hampir setiap provinsi di Indonesia memiliki wastra khasnya masing-masing.
“Sekarang, gak pakai wastra justru nggak keren. Maka wastra kini menjadi andalan,” ujar Deden.
Meski tren positif ini membuat wastra semakin relevan, Deden mengingatkan pentingnya pemahaman generasi muda terhadap nilai dan proses di balik pembuatan kain tradisional. Baginya, pengetahuan ini sama pentingnya dengan keterampilan mendesain.
Namun, ia tidak menutup mata terhadap tantangan industri wastra, terutama soal harga produksi.
Baca Juga: FIMELA dan IFC Dorong Generasi Muda Lestarikan Wastra Lewat Kompetisi Fashion ‘Tata Wastra’
“Kesulitannya adalah mendapatkan kain dengan harga yang bisa masuk ke pasar. Pembuatan tradisional memang menghasilkan kualitas tinggi, tapi harga pokoknya juga tinggi. Ini yang membuat sulit bersaing di pasar luas,” jelasnya.
Bagi Deden, inovasi menjadi kunci agar wastra terus diminati. Adaptasi desain yang mengikuti tren global dapat menjaga relevansi kain tradisional di mata konsumen modern.
Ia juga menekankan pentingnya memahami filosofi di balik setiap kain daerah.
“Ada bahan yang tidak bisa dipecah atau dipotong sembarangan. Desain ready to wear dari wastra harus tetap bisa dipakai, tapi tetap mempertahankan nilai budaya,” ujarnya.
Tak hanya soal desain, Deden menilai keberhasilan desainer muda ditentukan oleh karakter, fokus, dan kemampuan mengelola bisnis.
“Seorang seniman harus mengerti bisnis, dan seorang pebisnis harus mengerti seni. Dua hal ini harus berjalan bersama. Fokus dan konsistensi itu penting agar bisa bertahan di industri ini,” tegasnya.
Melihat potensi besar wastra, Deden optimistis masa depannya akan cerah jika ada dukungan dari pemerintah, kolaborasi lintas sektor, dan semangat generasi muda.
“Dengan kolaborasi yang tepat, wastra Indonesia bisa terus bertahan, berkembang dan dikenal di panggung internasional,” pungkasnya.
Baca Juga: Parade Wastra Nusantara 2025: Kemenparekraf Dorong Wastra Jadi Kekuatan Ekspor dan UMKM Nasional