Sebagai Menteri Luar Negeri RI periode 2014–2024, Retno LP Marsudi tidak hanya dikenal sebagai diplomat ulung yang mengharumkan nama Indonesia di panggung dunia, tetapi juga sebagai sosok perempuan yang teguh menjaga nilai, akar, dan identitas di tengah derasnya perubahan zaman.
Dalam sebuah kesempatan, ia berbagi refleksi tentang perjalanan hidup, keberanian, dan pesan penting bagi generasi muda Indonesia.
Retno mengakui bahwa dunia diplomasi yang ia jalani selama satu dekade adalah dunia yang didominasi laki-laki.
“Pada saat saya masuk ke dunia itu, perempuan hanya 10 persen. Kadang-kadang, saat negosiasi, saya celingukan dan sadar, perempuannya cuma saya sendiri,” tutur Retno, saat menjadi pembicara di acara PERURI Bestari Festival 2025: Kembali ke Akar, di Taman Kota PERURI, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Namun, alih-alih merasa terpinggirkan, ia memilih menjadikan identitas perempuan sebagai kekuatan.
“Jadilah perempuan. Karena ada hal-hal yang diberi oleh Tuhan kepada perempuan yang dapat kita maksimalkan. Misalnya, perempuan itu punya endurance lebih panjang. Saat laki-laki sudah letih, kita masih bisa bertahan,” tegasnya.
Bagi Retno, menjadi perempuan bukan berarti harus meniru laki-laki, melainkan mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki.
“Saya selalu bilang kepada perempuan, do not crack under pressure. Jadilah perempuan yang seperti diamond, yang tidak retak di bawah tekanan," tegas Retno.
Baca Juga: Retno LP Marsudi: Integritas dan Kepercayaan Diri Tumbuh dari Akar yang Kuat
Tak Pernah Takut, Kecuali kepada Tuhan
Dalam karier panjangnya, Retno kerap dipandang sebagai sosok yang berani. Ketika ditanya apakah ia pernah merasa takut, ia menjawab lugas.
“Agak beda tipis antara tidak punya takut dan dableg. Saya tidak tahu saya yang mana," tukasnya seraya tertawa.
Retno lantas mengisahkan latar belakangnya yang sederhana sebagai sumber kekuatan.
“Saya ini anak dari keluarga yang sangat biasa. Saya tahu apa artinya lapar, apa artinya tidak bisa membeli sesuatu. Tapi saya tidak pernah menyesali itu. Justru disitulah saya ditempa menjadi kuat,” tuturnya.
Ia mengingat pesan ibunya yang selalu melekat hingga kini.
“Jangan pernah takut sama siapa pun, kecuali sama Gusti Allah," ujar Retno.
Dan, pesan sang Ibunda itu pun menjadi pegangan ketika ia harus menghadapi negosiasi sulit atau isu-isu global yang kompleks.
Bagi Retno, keberanian dalam diplomasi bukan sekadar tentang sikap tegas, melainkan juga berpijak pada nilai kemanusiaan.
“Jadilah kita manusia yang memanusiakan manusia,” ucapnya penuh keyakinan.
“Kita harus membela kemanusiaan. Kita harus membela keadilan dimanapun berada, dalam konteks apa pun. Kalau di PBB, semua dimulai dengan we, the people. Jadi, pusat perhatian kita adalah manusia. Selama kita berjuang untuk kemanusiaan dan keadilan, kita tidak akan salah," lanjutnyam
Terakhir, Retno pun menyampaikan pesan sederhana namun penuh makna bagi generasi muda Indonesia yang sedang menapaki masa depan di tengah arus globalisasi dan digitalisasi.
“Melangkah ke masa depan, namun berpijak pada akar,” tandasnya.
Baca Juga: Pesan Retno Marsudi untuk Generasi Muda: Jangan Terjebak Budaya Instan