Waitatiri, seorang Penulis, CMO Smartick Indonesia sekaligus Harvard Alumni, punya kisah inspiratif tentang perjalanan karier dan finansialnya.

Lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia ini memulai karier sebagai guru bahasa, lalu menekuni dunia kreatif marketing sebagai copywriter hingga terlibat dalam berbagai kampanye kreatif.

Namun, setelah enam tahun bekerja, ia merasa ingin melakukan sesuatu yang lebih bermakna. Pandemi 2020 menjadi titik balik.

Saat itu, ia menggagas program donasi gadget dan kuota internet untuk anak-anak yang kesulitan mengikuti pembelajaran daring. Dari obrolannya dengan salah satu orang tua penerima manfaat, ia tersentuh ketika mendengar bahwa banyak keluarga harus memilih antara membeli makanan atau biaya pendidikan.

“Dari situ aku terpantik. Aku ingin melanjutkan studi agar bisa menghadirkan pembelajaran informal bagi anak-anak, supaya tetap bisa belajar meskipun terhambat akses sekolah,” ungkap Waitatiri, saat menjadi narasumber di sesi podcast Jenius bertajuk ‘Money Language Season 2’, baru-baru ini.

Perempuan yang akrab disapa Wai ini kemudian memutuskan melanjutkan studi ke Harvard University, mengambil jurusan Learning Design, Innovation, and Technology.

Keputusannya tak main-main, ia hanya mendaftar ke Harvard dan berhasil diterima.

Dikatakannya, prosesnya sendiri berlangsung cepat. Setelah persiapan tiga bulan, ia diterima pada Maret, mendapatkan beasiswa di Juli, dan langsung berangkat ke Amerika pada akhir bulan yang sama.

“Semua terasa buru-buru, tapi itulah jalannya. Aku harus menjalaninya dengan maksimal,” ujarnya.

Baca Juga: Cerita Rahne Putri Survive di Tengah Tuntutan Sandwich Generation

Selama di Harvard, Waitatiri menulis buku anak berjudul The Missing Colors yang terinspirasi kisah nyata penyintas bullying di Indonesia. Buku ini kini berkembang menjadi kurikulum resmi yang ditampilkan di situs Harvard dan bisa diakses guru maupun orang tua di seluruh dunia.

“Buku ini merepresentasikan pemulihan emosional korban bullying. Warna-warna yang hilang perlahan kembali hadir melalui dukungan teman dan lingkungan. Itu cara saya memperkenalkan isu bullying ke anak-anak dengan bahasa sederhana,” jelasnya.

Meski penuh pencapaian, kata dia, hidup di luar negeri juga memberinya banyak pelajaran soal finansial. Mulai dari biaya makan yang bisa mencapai USD20 per kali, harga kopi USD4, hingga kewajiban memberi tip 20–30 persen di restoran. Belum lagi biaya kesehatan.

“Saya pernah sakit perut sampai harus diperiksa lengkap. Hasilnya? Hanya masuk angin. Tapi, biayanya mencapai USD2.000 atau sekitar Rp30 juta,” kenangnya sambil tertawa.

Karena itu, ia benar-benar berhemat dengan cara memasak sendiri, menabung, dan disiplin dalam mengelola keuangan.

“Kalau bicara soal uang, yang terlintas di pikiran saya adalah masa depan. Nabung itu wajib, sekecil apa pun jumlahnya,” katanya.

Dari pengalaman pribadinya tersebut, Waitatiri pun menekankan pentingnya perencanaan finansial, baik untuk pendidikan maupun mimpi besar lainnya.

“Baik besar atau kecil, setiap orang memiliki mimpi yang ingin dicapai. Jika salah satu mimpi besar telah terwujud, apa yang harus dilakukan setelahnya? Pengelolaan finansial menjadi hal yang perlu direncanakan dengan matang,” tuturnya.

Dan baginya, sesi ‘Money Language’ yang digagas Jenius ini menjadi wadah untuk berbagi pesan tersebut kepada generasi muda.

Money Language menjadi wadah bagi saya untuk mengajak Teman Jenius berani mengejar mimpi, dengan tetap memiliki rencana matang pada berbagai aspek di dalam hidup,” tandasnya.

Baca Juga: Jenius Luncurkan Money Language, Wadah Edukasi Finansial dengan Topik Terkini