Dalam momentum peringatan Hari Buruh Internasional 2025 kemarin, Presiden RI, Prabowo Subianto menyatakan dukungan terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah.
Dukungan ini datang dari berbagai kalangan, khususnya serikat buruh, yang sejak lama menganggap Marsinah sebagai simbol keberanian dan pengorbanan dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum pekerja. Ia pun tersohor sebagai aktivis buruh yang vokal menyuarakan hak-hak pekerja, terutama soal upah dan kondisi kerja yang layak.
Namun perjuangannya harus terhenti secara tragis. Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas di tengah hutan di kawasan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Hasil otopsi mengungkapkan bahwa ia meninggal setelah mengalami penyiksaan berat.
Kematian Marsinah sontak menjadi sorotan nasional dan internasional. Banyak yang menilai bahwa kematiannya bukan sekadar tindak kriminal, melainkan pembungkaman terhadap suara buruh yang menuntut hak-haknya.
Keberanian Marsinah melawan ketidakadilan menjadi inspirasi, terutama karena ia melakukannya di tengah situasi represif dan penuh tekanan politik saat itu.
Lantas, seperti apa sosok dan kiprah Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak kaum pekerja di Indonesia? Dikutip dari berbagai sumber, Jumat (2/5/2025), berikut Olenka rangkum kisahnya.
Latar Belakang Kehidupan Marsinah
Marsinah adalah nama yang hingga kini lekat dalam ingatan perjuangan buruh di Indonesia. Keberanian dan keteguhannya dalam menyuarakan hak-hak buruh menjadikannya simbol perlawanan terhadap ketidakadilan di tempat kerja, meski perjuangannya harus dibayar dengan nyawa.
Ia lahir pada 10 April 1969 di Dusun Wuluhan, Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga sederhana. Sejak kecil, kehidupan Marsinah tidak mudah. Ia kehilangan ibunya saat masih balita dan kemudian dititipkan kepada kakek-neneknya karena sang ayah mengalami kesulitan ekonomi.
Kondisi keluarga yang pas-pasan membuat Marsinah tumbuh dalam lingkungan yang penuh keterbatasan.
Sejak masih SMP, Marsinah diketahui sudah punya hobi membaca sehingga membuatnya tumbuh menjadi sosok yang memiliki pemikiran kritis dan progresif.
Selain itu, dia juga dikenal pekerja keras dan sering membantu neneknya berdagang. Hidup dalam keluarga sederhana membuatnya lebih tahan banting dan enggan berpangku tangan. Dikutip dari Bloomberg Technoz, sepulang sekolah dia pun kerap membantu neneknya menjual gabah dan jagung.
Meski hidup dalam keterbatasan, Marsinah tetap berusaha mengejar pendidikan. Ia menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) meskipun harus berjuang keras untuk membiayai sekolahnya sendiri. Ia pun sempat bercita-cita berkuliah di fakultas hukum. Namun, karena kendala biaya, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pun sirna.
Marsinah kemudian memilih merantau ke Surabaya pada 1989 dan menumpang hidup di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga.
Ia kemudian bekerja di pabrik plastik SKW di Kawasan Industri Rungkut, akan tetapi gajinya jauh dari cukup. Lalu, ia juga sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang sebelum akhirnya pindah ke Sidoarjo dan bekerja di PT CPS pada 1990.
Aktivisme Marsinah Hingga Dihilangkan Nyawa
Semangat aktivisme Marsinah mulai tumbuh saat ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik jam tangan di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur.
Ia dikenal sebagai sosok yang lantang membela hak-hak buruh saat bekerja di PT CPS. Ia aktif dalam organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di unit kerja tempatnya bekerja, dan dikenal sebagai pekerja yang vokal memperjuangkan kesejahteraan sesama buruh.
Namun, suara kritisnya itu harus dibayar mahal. Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas di sebuah gubuk di Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur. Forensik mengungkapkan bahwa ia sudah meninggal sejak sehari sebelumnya dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Banyak pihak meyakini bahwa kematian Marsinah erat kaitannya dengan aktivitasnya memperjuangkan hak buruh. Ia diketahui memimpin aksi demonstrasi menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 pada 4 Mei 1993.
Dikutip dari Tirto.id, beberapa hari sebelum Marsinah ditemukan tewas, ia terlibat dalam mogok kerja yang dilakukan para buruh. Mogok kerja itu menuntut kenaikan buruh sesuai Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992. Beberapa orang yang melakukan mogok kerja dipanggil oleh Kantor Koramil 0816/04 Porong.
Baca Juga: Mengenang Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, Sosok 'Ibu Kandung' Taksi Bluebird
Kasus Kematian Janggal
Setelah aksi mogok kerja yang dilakukannya, pada malam hari tanggal 5 Mei 1993, Marsinah disebut diculik oleh lima orang yang diduga berafiliasi dengan pihak perusahaan.
Namun, setelah dikabarkan hilang selama tiga hari, Marsinah ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di Jati Wilangan, Nganjuk. Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD dr. Soetomo), Marsinah meninggal akibat penganiayaan hebat.
Melansir Detik.com, pemeriksaan mengungkap adanya luka memar di bagian leher dan kedua tangan. Hasil visum juga menunjukkan bahwa kemungkinan Marsinah mengalami penyiksaan dan kekerasan seksual sebelum akhirnya dibunuh.
Dikutip dari Kompas.com, Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan bahwa Marsinah tewas akibat luka tembak.
Kemudian, dikutip dari Beautynesia, penyelidikan terhadap kematian Marsinah sudah dilakukan sejak terbentuknya Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim. Dalam operasi ini delapan petinggi PT Catur Putra Surya ditangkap diam-diam.
Salah satunya adalah Mutiari, Kepala Personalia PT CPS yang disiksa secara fisik dan mental, serta dipaksa mengaku terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Sementara itu, pemilik PT CPS, Yudi Susanto divonis 17 tahunpenjara karena kasus ini. Sejumlah staf dijatuhi hukuman 12 tahun penjara namun kemudian naik banding dan dibebaskan tanpa dakwaan.
Meski petinggi PT CPS sudah dihukum, namun kasus ini masih dinilai janggal. Marsinah dianggap tidak mendapat keadilan yang seharusnya dan kasus ini masih dianggapkabur.
Bahkan kuasa hukum Yudi Susanto, yakni Trimoelja D. Soerjadi, mengungkapkan kemungkinan adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Dari situ pula, banyak orang yang yakin bahwa pembunuh sebenarnya masih aman dalam persembunyian.
Dan kini, usai 32 tahun berlalu, kasus Marsinah pun masih menyisakan misteri. Dalang dan para pelaku penyiksaan dan pembunuhan terhadap aktivis buruh tersebut masuk belum terungkap. Kasus ini pun mendapat perhatian Organisasi Buruh Internasional atau ILO dengan mencatatnya sebagai kasus 1773.
Dibuatkan Monumen
Sosok Marsinah selalu dikenang sebagai simbol perjuangan kaum buruh di Indonesia. Bahkan, Hari Buruh atau May Day yang diperingati setiap tanggal 1 Mei kerap dijadikan momen untuk mengenang sosok Marsinah.
Tak hanya itu, sosok Marsinah juga diabadikan dengan didirikannya sebuah monumen di desa tempat kelahirannya.
Monumen Pahlawan Buruh Marsinah berada di tepi Jalan Raya Baron, tepatnya di Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur.
Lokasinya berada di seberang Jalan Marsinah dan tidak jauh dari pemakaman umum Desa Nglundo di mana jasad Marsinah disemayamkan.
Tuntutan Masyarakat Sipil
Kasus Marsinah mencerminkan tantangan besar dalam penegakan HAM dan keadilan di Indonesia. Amnesty International Indonesia pun secara konsisten terus menyerukan agar negara tidak melupakan kasus ini dan mengambil langkah konkret untuk menuntaskan kasus pembunuhan Marsinah.
Dikutip dari akun media sosial resminya di X, Amnesty International Indonesia mengatakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap Marsinah melanggar hak untuk hidup, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai, serta hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan.
Selain itu, Amnesty International Indonesia juga menyebut penyelidikan dan peradilan kasus Marsinah sebagai "farsa hukum", menyoroti ketidakadilan dalam proses hukum yang dijalankan .
Diwartakan Tempo, organisasi ini pun menekankan pentingnya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban serta keluarganya, serta memastikan bahwa pelaku, termasuk aktor intelektual di balik kejahatan ini, diadili sesuai hukum.
Tak hanya Amnesty International Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya, termasuk Gerak Perempuan, terus mendesak pemerintah dan Komnas HAM untuk menindaklanjuti kasus ini dan membawa pelakunya ke pengadilan HAM. Mereka juga mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang.
Usulan Marsinah Jadi Pahlawan Nasional
Presiden RI, Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap usulan menjadikan aktivis buruh Marsinah sebagai pahlawan nasional. Pernyataan ini ia sampaikan dalam pidato peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (1/5/2025) kemarin.
“Mereka kemudian menyampaikan, bagaimana kalau Marsinah, Pak? Marsinah jadi pahlawan nasional? Saya jawab, asal seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh sepakat, saya akan mendukung,” tutur Prabowo yang disambut riuh tepuk tangan massa buruh.
Selain mendukung usulan Marsinah jadi Pahlawan Nasional, kepala Negara juga berjanji menghapus sistem outsourcing yang dinilai merugikan pekerja, salah satu tuntutan utama elemen buruh.
Selain itu, para buruh mendesak pembentukan Satgas PHK, pemberian upah layak, pengesahan RUU Ketenagakerjaan yang baru, dan perlindungan bagi pekerja rumah tangga melalui UU PPRT.
Prabowo menyatakan komitmen menjaga iklim investasi sambil memperjuangkan kesejahteraan buruh, dengan merencanakan pertemuan antara 150 pimpinan buruh dan 150 pimpinan perusahaan di Istana Bogor. Ia juga akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional sebagai penasihat presiden dalam isu perburuhan.
Baca Juga: Mengenang Sosok Maria Emilia Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia