Penghargaan dan Pengakuan

Masih dikutip dari LinkedIn pribadinya, Fatma tercatat telah mengoleksi lebih dari 30 penghargaan ilmiah, dengan sekitar separuhnya berasal dari lembaga internasional.

Rekam jejak prestasinya dimulai dari International Rising Talents – L’Oreal UNESCO for Women in Science yang ia terima di Paris pada 2013, disusul Early Chemist Award pada perhelatan International Chemical Congress of Pacific Basin Societies di Hawaii pada 2015, serta Elsevier Foundation Award di Washington DC pada 2016.

Pengakuan internasional terus mengalir, termasuk Hitachi Global Foundation Asia Innovation Award di Tokyo pada 2023, Willmar Schwabe Award di Krakow pada 2024, dan Female Science Talents Intensive Tracks yang diselenggarakan Falling Walls di Berlin pada 2024.

Pada tahun yang sama, ia juga menerima Grassroots Science Advice Promotion Award dari INGSA Asia dan masuk dalam daftar Top 100 Asian Scientist (2024).

Fatma bahkan menjadi satu-satunya ilmuwan perempuan Indonesia yang terpilih sebagai pemenang di ajang Female Science Talents 2024 di Berlin, sebuah pencapaian yang semakin menegaskan reputasinya di panggung global.

Aktivitas Internasional dan Kontribusi Sosial

Fatma aktif berkolaborasi dengan berbagai institusi dunia, seperti MIT, Harvard University, Kyushu University, Tokyo University, NTU Singapore, TWAS, hingga OWSD, baik sebagai peneliti maupun pembicara di forum bergengsi, termasuk UN Science Summit 76 dan World Laureates Forum.

Di luar laboratorium, Fatma mengintegrasikan sains dengan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai inisiatif yang menyentuh langsung kehidupan banyak orang.

Dikutip dari Wikipedia, ia juga pernah mendampingi petani herbal di kaki Gunung Kelud untuk meningkatkan kualitas produk, memperkenalkan sains jamu kepada siswa dari tingkat SD hingga SMA, serta mengajar anak-anak di Flores dan Alor untuk membuka akses pengetahuan yang lebih luas.

Kiprahnya juga menjangkau komunitas internasional melalui program pemberdayaan di Sarawak, Sabah, dan Chiang Mai. Bagi Fatma, sains bukan sekadar penelitian di ruang tertutup, tetapi jembatan yang mampu membawa perubahan sosial nyata.

Pesan untuk Generasi Muda

Dikutip dari Merdeka, Fatma adalah salah satu dosen kebanggaan ITS yang keilmuannya diakui dunia internasional. Jejaknya menggabungkan penelitian, pengabdian, dan diplomasi ilmu pengetahuan, sekaligus membuka jalan bagi lebih banyak perempuan Indonesia untuk menembus kancah sains global.

Dikutip dari Kompas, Fatma menyampaikan pesan yang menggugah bagi para calon ilmuwan muda. Ia mengingatkan bahwa masa muda adalah fase dengan ruang gerak paling luas, saat batas hanya ada jika kita menciptakannya sendiri.

“Ketika muda itu ruang gerak sangat tak terbatas. Kembangkan passion-mu, kenali minatmu, dan jangan menunggu kesempatan datang, ambil dan mulai sekarang,” tuturnya.

Pesan Fatma tersebut terbilang tegas sekaligus hangat, yang mencerminkan keyakinannya bahwa langkah kecil yang berani hari ini bisa menentukan masa depan sains Indonesia.

Dalam dirinya bertemu tiga hal, yakni rasa ingin tahu ilmiah, kecintaan pada budaya Nusantara, dan komitmen memberdayakan manusia. Ia bukan sekadar peneliti, tetapi simbol bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi kekuatan transformatif bagi keluarga, masyarakat, bangsa, hingga dunia.

Support System

Keberhasilan Fatma tidak terlepas dari dukungan suaminya, Adi Setyo Purnomo, S.Si., M.Sc., Ph.D., yang juga merupakan dosen ITS. Dikutip dari Detik, keduanya bertemu saat kuliah di Teknik Kimia ITS angkatan 1998, lulus bersama, menikah, lalu melanjutkan studi S2 dan S3 di Kyushu University, Jepang.

Sebagai pasangan ilmuwan, mereka kerap berdiskusi soal penelitian dan saling menguatkan dalam karier akademik. Kini, mereka membesarkan dua anak, yaitu Fahira Yumiko Azzahra dan Filza Michiko Farzama, sambil tetap aktif berkarya.

Meski telah mengantongi puluhan penghargaan internasional, mimpi Sri Fatmawati tak pernah mengecil. Justru semakin tinggi.

Dikutip dari Detik, ia pernah mengungkapkan ambisi yang mungkin terdengar luar biasa bagi sebagian orang, namun terasa begitu wajar bagi seseorang dengan dedikasi sepertinya.

“Namanya mimpi harus tinggi, setinggi langit, aku ingin meraih Nobel,” ungkap Fatma.

Baca Juga: Mengenal Carina Citra Dewi Joe: Perempuan Ilmuwan Indonesia di Balik Inovasi Vaksin AstraZeneca