Setelah makan besar, tampaknya kurang afdol kalau nggak makan hidangan penutup ya, Grothmates! Makanan manis atau dessert biasanya menjadi hidangan penutup pilihan yang disantap oleh kebanyakan orang. Pertanyaannya, kenapa kita masih ingin makan makanan manis meski sudah merasa kenyang, ya?
Menukil dari laman Medical Daily, para peneliti menyatakan bahwa kondisi tersebut berkaitan dengan cara kerja otak. Dalam sebuah penelitian terbaru, para peneliti menyelidiki fenomena tersebut pada tikus, di mana ditemukan bahwa mereka mengonsumsi gula bahkan saat merasa kenyang.
Saat menganalisis otak, mereka menemukan bahwa sekelompok sel saraf yang disebut neuron POMC memicu keinginan untuk mengonsumsi gula. Ketika tikus memakan gula, neuron-neuron ini melepaskan ß-endorfin, zat candu alami yang membuat mereka merasa puas dan menyebabkan mereka makan lebih banyak, bahkan saat mereka kenyang.
Efek ini khusus untuk gula, bukan makanan lain. Ketika para peneliti memblokir jalur ini, tikus berhenti memakan gula tambahan, tetapi hanya saat mereka kenyang. Penghambatan ß-endorfin tidak memengaruhi tikus yang lapar.
Baca Juga: Beragam Gula: Tanaman Pemanis Alami Selain Tebu
Para peneliti juga menemukan bahwa aktivasi endorfin dimulai bahkan sebelum tikus mulai mengonsumsi gula, segera setelah mereka merasakannya. Menariknya, zat opiat juga dilepaskan di otak tikus yang belum pernah mengonsumsi gula sebelumnya.
"Begitu larutan gula pertama memasuki mulut tikus, ß-endorfin dilepaskan di "daerah perut pencuci mulut", yang selanjutnya diperkuat oleh konsumsi gula tambahan," jelas para peneliti seperti dikutip, Selasa (18/2/2025).
Lantas, bagaimana dengan manusia?
Dalam uji coba serupa pada manusia, para peneliti memindai otak relawan setelah mereka menerima larutan gula melalui tabung. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah otak yang sama merespons gula, dengan banyak reseptor opiat yang terletak dekat dengan neuron yang mengatur rasa kenyang.
"Dari sudut pandang evolusi, ini masuk akal: gula jarang ditemukan di alam tetapi menyediakan energi dengan cepat. Otak diprogram untuk mengendalikan asupan gula setiap kali gula tersedia," jelas Henning Fenselau, pemimpin kelompok penelitian di Max Planck Institute for Metabolism Research dan kepala penelitian.
Baca Juga: Deretan Makanan dan Minuman yang ‘Haram’ Dipadukan dengan Obat
Para peneliti berharap temuan ini dapat membantu dalam pengobatan obesitas. Menurut Fenselau, meskipun sudah ada obat yang memblokir reseptor opiat di otak, efeknya terhadap penurunan berat badan masih lebih kecil dibandingkan suntikan penekan nafsu makan.
Fenselau meyakini bahwa kombinasi obat tersebut dengan terapi lain dapat memberikan hasil yang lebih efektif, meskipun penelitian lebih lanjut masih diperlukan.