Mantan Direktur Jenderal (Dirjan) Pajak di era Presiden Megawati hingga SBY, Hadi Poernomo, menyatakan soal pandangannya terkait apakah Indonesia bisa bebas dari utang luar negeri. Adapun saat ini, utang luar negeri/ULN Indonesia sendiri tercatat mencapai $423,4 miliar per Oktober 2024.
Menurut Hadi, Indonesia bisa terbebas dari utang, karena sepengalamannya sendiri sebagai Dirjen Pajak Kemenkeu periode 2001-2006, dimana saat itu Indonesia bisa membiayai APBN secara mandril.
“Bisa sekali, apalagi kami pernah pengalaman sebagai Dirjen Pajak 2001 sampai 2006. Tahun 2003, kita bisa membiayai APBN itu mandiri. Terlebih saat itu, dengan catatan, sistem monitoring self-assessment-nya tidak sekuat sekarang, melainkan masih merupakan MoU dengan pihak-pihak tertentu,” tutur Hadi, saat ditemui Olenka, di Jakarta, baru-baru ini.
Hadi lantas menyoroti pentingnya digitalisasi dalam penerapan sistem monitoring self-assessment ini. Menurutnya, penghindaran pajak dapat diminimalisasi dengan adanya sistem yang mengintegrasikan seluruh data perpajakan ke dalam satu sistem berbasis link and match, sehingga negara mampu menguji SPT Wajib Pajak serta memungkinkan pemetaan penerimaan negara secara transparan dan komprehensif, termasuk pendapatan yang bersifat legal maupun ilegal.
“Kalau sekarang pihak-pihak wajib pajak artinya sifatnya adalah digitalisasi. Otomatis data masuk ke pajak. Setelah itu baru kita adakan analisa link and match, dari situ terwujudlah transparansi. Dengan transparansi ini, semua terbuka sehingga otomatis tax ratio naik by sistem,” papar Hadi.
Pria yang pernah menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI periode 2009 sampai 2014 ini juga mengatakan, sistem monitoring self-assessment berperan sebagai alat pengumpul data dan informasi yang nantinya membentuk big data perpajakan. Sistem ini dapat memetakan penerimaan pajak secara komprehensif, baik dari pendapatan legal maupun ilegal, serta dapat memetakan penggunaan uang atau harta dalam tiga sektor utama, yakni konsumsi, investasi, dan tabungan.
Dengan adanya monitoring self-assessment, kata dia, setiap SPT Tahunan Wajib Pajak (WP) akan teridentifikasi dengan baik, sehingga tidak ada lagi data yang tersembunyi. Hal ini diharapkan dapat menjadi langkah signifikan dalam optimalisasi penerimaan pajak.
Menurutnya, jika aturan tersebut dilaksanakan, ia meyakini bahwa rasio pajak di Indonesia bisa meningkat. Sebagai informasi, rasio perpajakan alias tax ratio Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, tax ratio Indonesia masih sekitar 10 persenan.
“Hal ini juga akan terwujud jika kita mampu menguji SPT. Kemampuan menguji SPT inilah cita-cita seluruh negara di dunia. Kalau kata mampu, Eropa pun tax ratio-nya 46% berdasarkan laporan OECD. Sementara Indonesia baru 10 persenan selama 15 tahun terakhir ini,” beber Hadi.
Hadi pun memaparkan, kondisi penerimaan pajak Indonesia yang rendah ini tak lain dikarenakan adanya peraturan pelaksanaan yang inkonsisten. Untuk itu, kata dia, perlu revisi terhadap peraturan pelaksanaan yang inkonsisten yang selama ini melemahkan efektivitas sistem pengawasan perpajakan sehingga menjadi hambatan utama dalam penerapan monitoring self-assessment yang efektif.
“Mengapa tax ratio Indonesia rendah? Karena ada Peraturan Menteri Keuangan yang diduga inkonsisten dengan di atasnya. Kalau ini kita luruskan, terwujudlah yang namanya sistem monitoring self-assessment atau dengan kata lain CCTV penerimaan negara,” ungkap Hadi.
Hadii juga bilang, dengan penerapan monitoring self-assessment yang efektif, target peningkatan penerimaan pajak dapat dicapai bahkan dengan menurunkan tarif pajak.
"Penerimaan pajak akan meningkat secara otomatis karena SPT Wajib Pajak sudah benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan ketentuan undang-undang," katanya.
Lebih lanjut, pria yang sempat menjadi Kepala Bidang Ekonomi Dewan Analisis Strategis di Badan Intelijen Negara (BIN) ini pun membeberkan pengalamannya saat menerapkan sistem monitoring self-assessment atau dengan kata lain CCTV penerimaan negara tersebut saat menjadi Dirjen Pajak periode 2001 s.d 2006 lalu.
“Pada tahun 2001, begitu kami membuat konsep sistem monitoring self-assessment, kami MoU dengan berbagai pihak, seperti MoU dengan BPN, MoU dengan semua pihak-pihak untuk mendapatkan e-System yang mereka pakai masing-masing.
Dikatakan Hadi, saat itu, yang bersedia menjalin MoU dengan Dirjen Pajak adalah sebanyak 248 instansi.
“Alhamdulillah saat itu kami bisa membuat yang namanya sistem monitoring self-assessment secara tidak terlalu openly seperti yang sekarang ini,” ujar Hadi.
Dikatakan Hadi, meski saat itu belum ada Undang-undang (UU) yang mewajibkan penerapan sistem monitoring self-assessment ini, namun kenaikkan pajaknya dalam kurun waktu 5 tahun ke depan mengalami kenaikan yang jelas.
“Karena belum ada UU yang mewajibkan, tapi kenaikkan pajaknya jelas sekali. Tahun 2000 11%, tahun 2001 11,3%, tahun 202 11,5%, tahun 2004 12,2%, dan tahun 2005 12,7%. Itu 5 tahun itu betul-betul naik,” papar Hadi.
“Ini bukti daripada nyata bahwa 5 tahun yang telah kami coba dalam keadaan tidak sesempurna sekarang, bukan kewajiban, tapi baru MoU, kami pun mampu meningkatkan rasio pajak 2% dalam 5 tahun,” tandasnya.
Terakhir, Hadi pun optimistis bahwa dengan penerapan monitoring self-assessment yang transparan dan pelaksanaan yang tegas, sistem perpajakan Indonesia akan menjadi lebih kuat dan mampu berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan nasional.
“Langkah ini akan menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya adil, tetapi juga mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sosial di Indonesia,” pungkas Hadi.