Jalan panjang terkait pengenaan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang telah diusulkan sejak beberapa tahun lalu, kini menemukan kesepakatan.
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR menyepakati usulan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan minimal 2,5% pada 2025, dan akan naik secara bertahap hingga 20%. Hal tersebut tercantum dalam Simpulan Rapat Kerja BAKN DPR dengan Menteri Keuangan terkait Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada masa sidang I tahun 2024—2025.
Menukil dari pemberitaan Bisnis.com, dalam poin simpulan, BAKN dan pemerintah telah menyepakati usulan tarif cukai minuman manis minimal 2,5% dan direkomendasikan untuk diterapkan pada 2025 mendatang.
"BAKN merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan cukai MBDK sebesar minimal 2,5% pada 2025, dan secara bertahap sampai dengan 20%," ujar Pimpinan BAKN DPR Wahyu Sanjaya dalam agenda Rapat Kerja BAKN DPR dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Selasa (10/9/2024).
Baca Juga: Mengintip Rencana Kenaikan Tarif PPN Jadi 12 Persen, Akankah Terealisasi?
Berikut Olenka sajikan sejumlah informasi terkait pengenaan tarif cukai minuman manis seperti dirangkum dari berbagai sumber.
Beranjak dari Efek Samping MBDK
Ide pengenaan tarif cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) ini ternyata sudah mencuat sejak 2016 lalu. Pengenaan tarif cukai terhadap MBDK muncul lantaran efek minuman manis terhadap kesehatan masyarakat.
Sebagaimana diketahui, minuman berpemanis memiliki efek samping apalagi jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih. Salah satunya adalah risiko diabetes yang dapat menjadi masalah kesehatan. Sebab itu, melalui penerapan cukai minuman manis ini bertujuan untuk menekan efek samping tersebut.
Berdasarkan hasil riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), pemberlakuan cukai MBDK dapat mengurangi beban kasus diabetes melitus tipe 2 di Indonesia hingga 2033.
“Pemberlakuan cukai MBDK dapat mengurangi angka penderita diabetes melitus tipe 2 dan dapat mencegah potensi 455.310 kasus kematian kumulatif akibat penyakit tersebut dalam sepuluh tahun ke depan,” ujar Health Economics Research Associate CISDI, Muhammad Zulfiqar Firdaus, dalam peluncuran riset beberapa waktu lalu
Potensi Keuntungan ke Kantong Negara
Terlepas dari masalah kesehatan serius yang dapat mengintai masyarakat akibat mengonsumsi MBDK, ada potensi keuntungan pula dari penerapan cukai minuman manis ke kantong negara.
Menukil dari laman CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyampaikan kepada Komisi XI DPR RI pada Februari 2020 terkait cukai minuman manis. Menurutnya, potensi penerimaan yang didapatkan negara dari cukai MBDK bisa mencapai Rp6,25 triliun.
Saat itu, Sri Mulyani turut mengusulkan tarif cukai untuk teh kemasan Rp1.500 per liter. Mengingat, berdasarkan data Kemenkeu, produksi teh kemasan mencapai 2.191 juta liter per tahun. Sehingga, potensi penerimaannya bisa sebesar Rp2,7 triliun.
Baca Juga: Pemerintah Usul ASN yang Pindah ke IKN Dapat Insentif Rp100 Juta, Akankah Terealisasi?
Sementara untuk minuman karbonasi, Sri Mulyani mengusulkan tarif cukai sebesar Rp2.500 per liter dan produksinya mencapai 747 liter per tahun, sehingga potensinya Rp1,7 triliun.
Riset yang dilakukan oleh CISDI juga mengungkap akan potensi keuntungan bagi pemerintah dari penerapan cukai MBDK. Berdasarkan perhitungan CISDI, Indonesia bisa menghemat dana APBN hingga Rp40,6 triliun dari diterapkannya cukai minuman manis.
“Indonesia dapat menghemat hingga Rp 40,6 triliun dari penerapan cukai MBDK yang dapat menaikkan harga jual produk MBDK di pasar paling tidak sebesar 20 persen,” tutur Chief Policy and Research CISDI, Olivia Herlinda.
Keputusan di Tangan Prabowo
Meski diklaim sudah menemukan kesepakatan, keputusan pengenaan cukai minuman manis minimal 2,5% pada 2025 berada di tangan presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani, usulan BAKN DPR terkait cukai minimal 2,5% pada 2025, sejauh ini diterima sebagai rekomendasi.
“Itu rekomendasi saja. Tapi nanti tergantung pemerintah tahun depan,” ujarnya seperti dikutip dari laman Antara.
Kendati begitu, Askolani mengatakan berbagai aspek akan dipertimbangkan dalam menentukan tarif cukai MBDK. Katanya, tergantung dengan kondisi di tahun 2025.