Direktur Utama PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), M. Fankar Umran, menilai ketidakpastian ekonomi global pada 2025, yang dipicu oleh perang dagang AS-Tiongkok serta ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah dan konflik Rusia-Ukraina, memberikan tekanan signifikan terhadap kinerja industri asuransi dan penjaminan nasional.
Ia menilai bahwa perlambatan ekonomi global yang juga dirasakan di Indonesia turut berdampak pada sektor perbankan. Hal ini tampak terlihat dari melambatnya penyaluran kredit serta masih tingginya rasio kredit bermasalah (NPL), serta berdampak pada pertumbuhan premi asuransi kredit melambat, dan tingkat klaim tetap tinggi.
Baca Juga: Mempererat Hubungan dengan Masyarakat, Askrindo Tebar Kebaikan di Hari Kurban
Baca Juga: Askrindo Syariah dan BSI Kolaborasi Gelar 'BEYOND BROTHERHOOD'
"Dalam konteks asuransi kredit, tantangannya bukan hanya pada penurunan premi, tetapi juga peningkatan klaim sebagai efek domino dari situasi global saat ini. Bahkan, dampak pandemi COVID-19 masih dirasakan hingga sekarang, meskipun pandemi telah lama berlalu. Hal ini terjadi karena risiko dalam asuransi kredit bersifat lagging spill-over atau long tail effect," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/6/2025).
Namun, meski dihadapkan pada tantangan perlambatan, permintaan terhadap produk asuransi umum dan finansial tetap menunjukkan prospek positif, termasuk di sektor UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
"Semakin besar penyaluran kredit ke sektor riil, semakin besar pula potensi pengembangan asuransi kredit," tambahnya.
Sebagai catatan, sepanjang tahun berjalan hingga April 2025, Askrindo mencatat kinerja positif berkat strategi inovatif, perluasan akses, serta penguatan literasi keuangan. Laba setelah pajak (EAT) tercatat sebesar Rp196 miliar atau tumbuh 205% secara year to date (YTD), sementara hasil underwriting mencapai Rp423 miliar atau meningkat 61% YTD.
Askrindo juga berkomitmen mendukung program-program prioritas pemerintah, termasuk sektor perumahan, serta memperkuat fungsi intermediasi lembaga keuangan dalam rangka mendorong inklusi keuangan dan kesejahteraan masyarakat. Perusahaan juga telah mempersiapkan diri menghadapi implementasi PSAK 117 dan optimistis terhadap arah kebijakan fiskal dan moneter, termasuk potensi penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia.
"Kami berharap pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui stimulus yang tepat, baik dari sisi moneter maupun fiskal. Penurunan suku bunga, misalnya, akan berdampak positif terhadap pertumbuhan kredit perbankan. Seiring meningkatnya penyaluran kredit, sektor riil dan UMKM berpotensi tumbuh lebih kuat, yang pada akhirnya mendorong peningkatan konsumsi dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan," tutup Fankar.