Industri podcast tengah memasuki babak baru. Menurut riset terbaru Populix, masyarakat Indonesia kini lebih menyukai konten podcast dengan format video dibanding audio semata. Perubahan tren ini membuka peluang monetisasi lebih luas bagi kreator, namun sekaligus menghadirkan tantangan terhadap kualitas konten.

Isu ini menjadi sorotan dalam sesi Podcast Day Asia pada gelaran Radiodays Asia 2025 di Jakarta, Rabu, 3 September 2025.

Indah Tanip, VP of Research Populix, menjelaskan bahwa popularitas audio podcast terus menurun.

“Bahkan, dibanding data tahun 2023, penikmat podcast audio saja berkurang lebih dari setengahnya,” ungkap Indah.

Lebih jauh, Indah menyebut dua dari tiga penikmat video podcast menonton hingga tuntas, sementara sisanya cenderung selektif dan hanya menonton bila tertarik pada bintang tamu.

“Hal ini menunjukkan ketertarikan kuat audiens dengan format video, khususnya jika didorong dengan narasumber yang menarik,” tambahnya.

Temuan tersebut disambut oleh Ron Baetiong, Founder dan CEO Podcast Network Asia. Menurutnya, video podcast memperluas cara kreator menghasilkan pendapatan.

“Podcast hari ini tidak hanya memanjakan telinga saja. Aspek visual memperkaya pengalaman audiens sekaligus membuka peluang bisnis lebih jauh lagi. Tidak hanya adlibs (iklan yang dibacakan), kreator bisa menunjukkan produk atau sekadar menampilkan logo dalam video mereka,” ujarnya.

Ron mencontohkan peluang monetisasi yang kini populer, mulai dari product placement, komisi affiliate, hingga langganan konten premium. “Bahkan audiens sekarang mulai berani memberikan tips atau donasi kepada kreator favorit mereka,” tambahnya.

Baca Juga: Populix Ungkap Kebiasaan Pendengar Podcast Indonesia di Radiodays Asia 2025

Pertumbuhan Iklan, Tantangan Kualitas

James Cridland, Editor Podnews sekaligus Radio Futurologist, memaparkan data Magellan AI yang menunjukkan belanja iklan podcast pada paruh pertama 2025 naik 28% dibanding tahun lalu, dan diprediksi terus tumbuh hingga akhir tahun.

“Peningkatan iklan tentu meningkatkan kesejahteraan kreator. Namun, ini bisa jadi pedang bermata dua. Ketergantungan pada iklan berisiko menurunkan kualitas konten dan pengalaman pendengar,” tegas James.

Ia juga menekankan pentingnya kreator menjaga ownership dan kualitas konten.

“Langganan adalah model monetisasi paling aman karena keberlanjutan podcast pada akhirnya sangat ditentukan oleh dukungan pendengar,” jelasnya.

Sebagai contoh, James menyebut podcast Horses in the Morning, yang fokus pada topik kuda namun memiliki pendengar dari 90 negara.

“Kuncinya adalah bagaimana kreator mengemas informasi dan menyampaikan cerita dengan cara yang menarik,” ujarnya.

Diskusi juga mengupas perbedaan preferensi pendengar berdasarkan generasi. Menurut Indah, milenial lebih menyukai topik berat seperti politik, berita, dan motivasi. Sedangkan gen Z cenderung memilih konten ringan seperti komedi dan hiburan, dengan durasi singkat.

“Strategi khusus diperlukan untuk menjangkau masing-masing kelompok, karena perspektif dan persona mereka sangat berbeda,” jelasnya.

Paparan ini merujuk pada laporan terbaru Populix bertajuk “How People Enjoy Podcasts in Daily Life”. Survei dilakukan pada Juni 2025 terhadap 1.100 responden generasi milenial dan Z di seluruh Indonesia. Mayoritas responden adalah pekerja dengan status ekonomi menengah ke atas, berjenis kelamin seimbang, dan tinggal di Pulau Jawa.

“Harapannya, data dan diskusi mengenai masa depan industri podcast ini bisa mendukung perkembangan dan keberlanjutan industri hiburan audio di Indonesia, serta menginspirasi para pencerita di seluruh Indonesia untuk mengembangkan potensi mereka melalui podcast,” tutup Indah.

Baca Juga: GoWork Luncurkan Studio Podcast di Jakarta Selatan