Nama dr. Andi Nafsiah Walinono Mboi, Sp.A, MPH, atau yang lebih dikenal sebagai Nafsiah Mboi, telah lama melekat dalam sejarah panjang kesehatan masyarakat Indonesia.

Ia bukan sekadar dokter spesialis anak, tetapi juga pemikir kesehatan publik, pejuang hak asasi manusia, dan tokoh perempuan yang kiprahnya melintasi batas profesi, wilayah, bahkan negara.

Dari ruang praktik medis hingga ruang-ruang kebijakan nasional dan forum internasional, Mantan Menkes RI ini selalu konsisten menempatkan kemanusiaan sebagai inti perjuangannya, terutama dalam isu kesehatan ibu dan anak, kesetaraan gender, serta penanggulangan HIV dan AIDS.

Lantas, seperti apa sebenarnya sosok Nafsiah Mboi di balik deretan jabatan dan pencapaiannya? Dihimpun dari berbagai sumber, Senin (22/12/2025), berikut ulasan Olenka tentang perjalanan hidup, pemikiran, serta jejak panjang pengabdian Nafsiah Mboi.

Latar Belakang Keluarga

Dikutip dari Tribunnews, Nafsiah Mboi lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan, pada 14 Juli 1940. Ia merupakan putri sulung dari enam bersaudara, buah hati pasangan Andi Walinono dan Rahmatiah Sonda Daeng Badji.

Sang ayah dikenal sebagai hakim yang pernah bertugas di berbagai kota besar seperti Makassar, Surabaya, Jayapura, dan Jakarta, serta dihormati sebagai tokoh intelektual Sulawesi Selatan.

Lingkungan keluarga yang kuat dalam tradisi pendidikan dan pengabdian publik turut membentuk karakter Nafsiah sejak dini.

Ia juga memiliki saudara-saudara yang berkiprah di tingkat nasional, antara lain Prof. Dr. Andi Hasan Walinono (alm), mantan Direktur Jenderal dan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Erna Witoelar, aktivis lingkungan dan mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah.

Pendidikan

Dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan, dr. Nafsiah Mboi menyelesaikan pendidikan Dokter Spesialis Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1971.

Ia kemudian memperluas perspektif globalnya dengan meraih gelar Master of Public Health (MPH) dari Prince Leopold Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia, pada 1990.

Tidak berhenti di sana, Nafsiah juga menjadi research fellow Takemi Program in International Health di Universitas Harvard, Amerika Serikat (1990–1991).

Istri Gubernur NTT dan Pengabdian di Timur Indonesia

Dikutip dari Tribunnews, Nafsiah Mboi menikah dengan dr. Aloysius Benedictus Mboi, MPH (Ben Mboi), yang pernah menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1978–1988.

Keduanya bertemu semasa menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan menikah pada 1964, setelah Nafsiah menyelesaikan studinya. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak, yakni Maria Yosefina Tridia Mboi, Gerardus Majela Mboi, dan Henri Dunant Mboi.

Selama mendampingi suaminya memimpin NTT, Nafsiah tidak sekadar menjalani peran seremonial sebagai istri kepala daerah. Ia kerap terjun langsung dalam kerja-kerja sosial dan kesehatan masyarakat dengan memimpin PKK, BK3S, serta berbagai organisasi sosial.

Masa pengabdian inilah yang mempertemukannya secara langsung dengan realitas kemiskinan, ketimpangan layanan kesehatan, serta persoalan perempuan dan anak di wilayah timur Indonesia.

Perjalanan Karier Nasional

Karier dr. Nafsiah Mboi di bidang pemerintahan dan kesehatan terentang panjang dan berlapis. Dikutip dari Kompas.com, ia memulai pengabdian sebagai pegawai negeri di Departemen Kesehatan sejak tahun 1964 hingga 1998.

Pada masa awal pengabdiannya, ia pernah menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Umum Ende, Flores, pada periode 1964–1968.

Pengalaman lapangannya di Nusa Tenggara Timur kemudian berlanjut ketika ia dipercaya menjadi Kepala Seksi Perizinan di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi NTT pada 1979–1980, sebelum melanjutkan perannya sebagai Kepala Bidang Bimbingan dan Pengendalian Pelayanan Kesehatan Masyarakat (BPPKM) di wilayah yang sama pada 1980–1985.

Selain berkiprah sebagai birokrat kesehatan, dr. Nafsiah Mboi juga terlibat langsung dalam ranah politik nasional dengan menjadi Anggota DPR/MPR RI pada periode 1992–1997.

Puncak karier nasionalnya terjadi ketika Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menunjuknya sebagai Menteri Kesehatan RI periode 2012–2014 untuk menggantikan almarhumah Endang Rahayu Sedyaningsih.

Sementara itu, dikutip dari Wikipedia, penunjukan tersebut mencatatkan Nafsiah Mboi sebagai Menteri Kesehatan tertua yang pernah menjabat, yakni pada usia 71 tahun.

Baca Juga: Mengenal Oka Rusmini: Sastrawan yang Lantang Menyuarakan Isu Perempuan dan Ketidakadilan Sosial Akibat Adat dan Sejarah

Kiprah Internasional dan Dunia PBB

Dikutip dari Tirto, kiprah Nafsiah Mboi menembus panggung global melalui berbagai peran strategis di tingkat internasional.

Ia pernah dipercaya menjabat sebagai Ketua Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa pada periode 1997–1999, sebuah pencapaian yang mencatatkannya sebagai orang Asia pertama yang menduduki posisi tersebut.

Kiprahnya kemudian berlanjut di Organisasi Kesehatan Dunia ketika ia ditunjuk sebagai Direktur Department of Gender and Women’s Health di World Health Organization (WHO) Pusat, Jenewa, Swiss, pada 1999–2002, sekaligus menjadikannya perempuan Indonesia pertama yang mengemban jabatan direktur di lembaga kesehatan global tersebut.

Dalam berbagai peran internasionalnya, Nafsiah Mboi dikenal konsisten memperjuangkan pendekatan kesehatan yang berlandaskan hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keadilan sosial, serta menempatkan martabat manusia sebagai inti dari kebijakan kesehatan publik.

Pejuang HIV/AIDS dan Kemanusiaan

Sejak awal 2000-an, dr. Nafsiah Mboi dikenal luas sebagai tokoh sentral penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Dikutip dari berbagai sumber, ia dipercaya menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional sejak 2006, serta Wakil Ketua Komnas Perempuan.

Ia juga turut memelopori lahirnya Komitmen Sentani (2004), tonggak penting komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pendekatan yang ia perjuangkan menekankan anti-diskriminasi, pemberdayaan populasi kunci, dan perlindungan hak ODHA.

Karya dan Pemikiran

Dikutip dari Kompas, dr. Nafsiah Mboi telah menulis lebih dari 70 karya dalam bahasa Indonesia dan Inggris, termasuk makalah ilmiah, artikel kebijakan, dan tulisan advokasi.

Pemikirannya menjadi rujukan penting dalam isu kesehatan publik, HIV/AIDS, serta hak perempuan dan anak.

Penghargaan dan Pengakuan Dunia

Dedikasi panjang dr. Nafsiah Mboi di bidang kesehatan dan kemanusiaan telah diganjar berbagai penghargaan bergengsi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Pengakuan tersebut dimulai pada tahun 1986, ketika ia menerima Ramon Magsaysay Award for Government Service atas kontribusinya dalam pelayanan publik dan kesehatan masyarakat.

Tiga tahun kemudian, pada 1989, pemerintah Indonesia menganugerahkan Satyalancana Bhakti Sosial sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya kepada masyarakat.

Pada tahun 2014, dr. Nafsiah Mboi kembali memperoleh penghargaan nasional melalui Bintang Mahaputera dari Pemerintah Indonesia. Setahun berselang, pada 2015, pengakuan dunia internasional datang dari Pemerintah Prancis yang menganugerahkan tanda kehormatan Legion d’Honneur.

Dikutip dari Medcom, pemerintah Prancis menegaskan bahwa penghargaan tersebut tidak diberikan karena jabatannya sebagai menteri, melainkan sebagai apresiasi atas kontribusi nyata dan konsistensinya sepanjang hidup dalam memperjuangkan kesehatan masyarakat, khususnya bagi kelompok miskin dan rentan.

Pengabdian intelektual dan sosialnya terus mendapat pengakuan hingga tahun 2021, ketika ia dianugerahi Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas serta masuk dalam daftar Tatler Asia’s Most Influential (Indonesia).

Pada tahun yang sama, dikutip dari Tribunnews, di usia senjanya dr. Nafsiah Mboi masih memimpikan Nusa Tenggara Timur yang lebih sejahtera, salah satunya melalui berdirinya RSUP dr. Ben Mboi di Kupang. Baginya, kemajuan kesehatan tidak diukur dari kemegahan gedung, melainkan dari mutu pelayanan dan keberpihakan pada masyarakat.

Baca Juga: Mengenal Sosok Nila Moeloek, Mantan Menteri Kesehatan RI di Era Presiden Joko Widodo